Kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadikan tanggal 12 Rabiul Awal terasa lebih berarti. Menjadi tanggal di mana kita kembali ditayangkan kisah-kisah keteladanannya, kembali menggali hikmah-hikmah dalam setiap perjalanan hidupnya. Penting bagi seorang muslim untuk meneladani Sang Khatamul Anbiya, ikut mengamalkan tiap-tiap sunah yang diajarkannya.
Maka tersampaikanlah sepenggal kisah dalam kitab Durratun Nashihin halaman 278 yang menerangkan salah satu Hadits riwayat Anas bin Malik.
Mengisahkan suatu perjumpaan di hari Idul Fitri, antara dua insan yang Allah pertemukan. Perjumpaan itu dimulai saat Rasulullah hendak berangkat untuk melaksanakan Shalat Id. Rasulullah tersenyum melihat anak-anak yang dengan cerianya bermain. Girang dengan pakaian-pakaian mereka. Namun kemudian senyumannya terlelap saat melihat seorang anak yang menangis. Tubuh kecil itu berdiri di hadapannya dengan pakaian yang kumal.
Rasulullah pun bertanya, "Nak, apa yang membuatmu menangis? Tidaklah kamu mau bermain bersama teman-temanmu?"
Anak yang tak mengetahui siapa lelaki di hadapannya pun berkata, "Paman, ayahku telah wafat saat mengikuti peperangan bersama Rasulullah. Setelahnya, ibuku menikah lagi dan mengambil semua harta-hartaku. Sedangkan bapak tiriku mengusirku dari rumah. Sejak itu, aku tidak memiliki makanan, minuman, pakaian dan rumah. Kemudian sampailah hari ini, aku melihat banyak anak sebayaku berbahagia dengan ayah-ayah mereka. Sedang aku penuh kehampaan tanpa ayah. Untuk itu aku menangis."
Mendengar hal itu membuat hati Rasulullah terenyuh. Rasul pun berniat merawat anak kecil ini. Digenggamnya dengan lembut tangan kecil itu, kemudian ia berkata, "Nak, bersediakah jika aku menjadi bapakmu, Aisyah menjadi ibumu, Ali menjadi pamanmu, Hasan dan Husein menjadi saudara lelakimu dan Fatimah menjadi saudara perempuanmu."
Mendengar penuturan Rasulullah, anak itu tersadar bahwa lelaki di hadapannya tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian anak itu berkata, "Mengapa aku tidak sudi, Ya Rasulullah?" Senyumnya mengembang tatkala ia mengatakannya.
Kemudian dibawanya anak itu ke rumahnya. Dipakaikannya pakaian yang indah, diberikannya makanan sampai ia kenyang, diharuminya ia dengan minyak wangi yang harum. Anak itu menjadi girang, tertawa dengan penuh bahagia.
Melihat itu, teman-temannya bertanya dengan penasaran. "Bukankah engkau yang dulunya menangis? Mengapa engkau bisa terlihat bahagia sekarang?"
Dijawabnya dengan riang, "Ya. Dulu aku memang kelaparan, tapi kini sekarang aku kenyang. Dulu pakaianku kumal, tapi kin pakaianku indah. Dulu aku adalah anak yatim, tapi kini Rasulullah adalah ayahku. Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudara lelakiku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?"