Lihat ke Halaman Asli

Ketika Mengajar Dibayar Pakai Singkong dan Ganja, Serta Kisah Sedih yang Itu-itu Saja Soal Profesi Guru

Diperbarui: 19 Februari 2016   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bersama rekan guru di SMA N 70 Jakarta dalam upacara peringatan Hari Guru Tahun 2015"][/caption]

Saya ga melulu suka tentang hal-hal berbau sosial. Misal, singkat saja, saya ga suka kalau mengajar itu gratis. Dan untuk kamu yang lagi berpikir untuk bikin suatu kegiatan mengajar gratis alias sukarela, mohon pertimbangkan lagi niatan mu itu.

Ayo cari cara dong, gimana agar para sukarelawan mu itu terakomodasi. Jangan bicara panggilan hati melulu. Baper amat.

Menjadi seorang guru, mengajar dan/atau mendidik selayaknya selalu punya harga yang harus diterima. Tidak perlu melulu bicara besar nominal sih. Yang penting harus ada usaha yang dikeluarkan oleh pengguna jasa untuk mengakomodasi sang guru. Tidak baik membiasakan masyarakat untuk berpangku tangan apalagi mengkategorikan guru adalah profesi yang remeh. Guru harus jadi golongan yang teristimewa.

Guru adalah perwakilan segenap rakyat Indonesia untuk mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Bukan saya yang bilang. Itu perkataan pak Anies dalam sambutan Hari Guru yang akan selalu saya ingat.

 

-

Cerita ini saya dapatkan sewaktu berkunjung ke Surabaya dalam suatu kegiatan dan berdiskusi dengan salah satu mahasiswa dari kampus Universitas Negeri Surabaya (UNESA). "Saya pernah mengajar dibayar pakai Singkong lho Mas". Mas Tutut, sang empunya cerita, mengajar selama satu bulan di salahs atu kantor kelurahan di Sidoarjo, Jawa Timur. Yang dia ajar adalah pelajar SD kelas 4 -6. Mas Tutut mengajar bersama beberapa orang lain dari berbagai kampus. Mas Tutut sendiri adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Masyarakat setempat tentu senang sekali mendapatkan aksi pengabdian dari para mahasiswa/i baik hati tersebut. Tapi, mereka tidak mau menjadi lemah. Mereka ingin menghargai tamu-tamu mereka yang mulia.

Mengajar sebulan, warga memastikan semua pengajar mendapatkan makanan, minuman dan tempat tinggal yang layak. Dan selesai pengabdian, warga yang sulit diajak urunan uang, bahu-membahu membawa hasil bumi untuk sekedar buah tangan. Jadilah para pengabdi ini membawa serta tebu, jagung, dan singkong dalam perjalanan pulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline