Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Potret Berpigura Hitam

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pigura itu masih terpampang dengan jelas pada posisi ketika pertama kali ibuku meletakkan. Masih terbingkai rapi di sebuah pigura mungil yang tampak mulai berdebu. Sengaja kutak membersihkan, biarlah sang angin menyapu bersih debu-debu itu. Terlihat bersih pun jika memang kerap kutinggalkan kamar untuk beberapa waktu yang lama dan ibuku yang selalu membersihkan pigura berpotret hitam-putih. Setelahnya akan terlihat kotor dan berdebu lagi, jika aku sudah kembali menghuni kamar. Tak perlu beralasan mengapa aku begitu enggan membersihkan.

Selain diriku tak ada yang berani memasuki kamar tanpa seizinku, kecuali ibuku. Sekalipun ada yang berani memasuki, aku akan mengusir sebelum langkah pertama menginjak lantai kamarku. Bagiku kamar adalah tempat tersimpannya berbagai macam privasi yang tak boleh dijamah manusia lain. Jika ada yang pernah tidur dikamarku, itu lain soal, maka sesungguhnya ia manusia yang beruntung. Hanya aku yang tahu! Ibarat celengan, tak semua orang tahu berapa uang yang kusimpan didalamnya. Melihat hanya bisa dari lubang tempat memasukkan kepingan koin. Mengintip dari celahpun hanya gelap dan tak bisa terlihat dengan jelas. Hanya si pemilik yang mengetahui berapa jumlah koin yang telah dimasukkan.

Tahukah kamu jika aku kerap membalikkan pigura agar kau tampak membelakangiku. Aku tak mau bertatap muka denganmu, walau hanya dengan gambar menyerupa raut wajahmu. Justru potret itulah yang bisa membuat kau bercerita tentang rentetan peristiwa masa lalu, kini, dan mungkin masa depan. Hanya potret diri dan ibuku saja yang boleh terpajang diatas rak buku dan berpigura. Seandainya ada foto bersama dan kau salah satu orang didalam gambar, maka kan kubalik atau malah dimasukkan kedalam album foto -yang belum tentu kubuka dan lihat setiap hari. Pigura kosong itu berganti dengan potret yang lain, tanpa kau.

Miris jika kupaksa mengingat kembali masa lalu, yang selalu ibuku katakan berulang-ulang, walau hanya sebagai pengingat. Menatap potretmu yang terasa hanya mengenangmu. Kilas balik pada pengalaman yang telah berlalu.

***

Tatkala rekam jejak mengenaimu terulang kembali! Terus terang aku begitu merindumu, terkenang, tetapi jika mengingatmu terus-menerus maka segera kutepis dengan segela kebencian yang aku ciptakan. Tak baik berlarut-larut dalam kepedihan. Kuhanya bisa melantunkan doa-doa pengharapan agar kau tenang dalam damai di alammu dan diterima disandingNYa. Barangkali hanya ini yang bisa sementara aku lakukan.

Aku masih bisa membayangkan ketika kau menimangku dengan penuh kasih sayang. Menciumiku penuh cinta kasih, memberi wejangan dan mengayun-ayunku sembari bersenandung lagu keroncong di saat kau gendong. Selain itu, kau juga mensisipi harapan-harapan di sela pergantian lagu berikut yang hendak kau nyanyikan. Agar aku kelak berguna bagi bangsa serta kedua orang tua.

Kau begitu sabar, lebih dari sembilan bulan lamanya menunggu si jabang bayi penuh dengan rasa was-was. Begitu anakmu terlahir didunia, kau terlihat bahagia bercampur haru. “Sempuna. Anakku yang terakhir terlahir. Terima kasih Tuhan!” begitu bahagia kala itu, berucap syukur dengan kedua telapak tangan menyatu terkepal. Walau kau tak mengadzani ketika kulahir, terima kasih kau telah memberiku nafas kehidupan di dunia ini. Kan kukenang semua kisah yang pernah kita lalui bersama, semuanya, segalanya apapun itu. Akulah yang selalu kau sebut “Janoko” ketika kau timang.

Tujuh puluh dua bulan atau setara dengan Dua ribu seratus enam puluh satu hari dan atau sama dengan Lima puluh satu ribu delapan ratus enam puluh empat jam. Waktu yang begitu singkat untuk menemaniku, bercengkerama dan bermain bersama. Aku rindu dengan sore. Mengukur jalan dengan Si Pitung -Motor buatan Jepang tahun 1970an- atau dengan sepeda mini bercat hijau cerah menemaniku berkeliling. Menikmati senja di jalanan desa yang sepi.

Rasa-rasanya, ingin kembali merasakan lezatnya nasi goreng berlauk kacang atau telur mata sapi yang kau buat di setiap pagi. Kuyakin cita rasa masakan yang kau buat tidak berubah. Ah lupakan. Semua itu hanya ingin! Andai saja keinginan itu dapat kubeli, aku akan berusaha untuk membeli semua keinginan itu. Semampuku meraih.

Namun, Tuhanmu dan Tuhan kitalah yang memisah hidup kita, dan mutlak menjadi takdirNya. Itu sudah menjadi kuasaNya. Kita dipisah oleh ruang, waktu dan alam yang berbeda.

Andai saja kau masih hidup, mungkin apa yang kaulihat dengan kehidupanku sekarang, kau hanya bergeleng kepala. “Nak, laku hidup apa yang sedang kau jalani? Apakah aku salah mendidikmu?” sesalnya. Pastinya kau sudah nampak beruban dengan wajah yang mulai keriput. Sedang menikmati hari tuamu di beranda rumah memetik gitar dan memainkan musik keroncong atau country kesukaanmu. Bisa jadi kau malah sudah memakai krek, mengingat kau mengidap penyakit stroke, komplikasi.

Sayangnya kau tak diberi kesempatan memantau dan mendidikku bertumbuh kembang hingga sekarang. Andai saja kau masih hidup, mungkin aku bukanlah aku yang sekarang. Hanya andai, jika dan bila. Apa daya Tuhan telah berkehendak. Kita tidak sedang menolak takdir.

Hanya Enam tahun kita jalani hidup bersama, terbingkai dalam satukeluarga utuh dan hidup di atap rumah yang sama. Tak terdengar lagi senda gurau di rumah kita. Suasana pun telah berganti. Sungguh, begitu lama menghapus jejak-jejak yang kau tinggalkan. Hanya potret yang masih terbingkai pigura hitamlah dimana kenangan itu masih bisa bercerita. Sebuah potret lama yang masih bisa menguak kenangan yang terpendam.

Pertengahan tahun 1989, tepat kurang satu hari sebelum kau memperingati tanggal kelahiranku. Kau sudah terbujur kaku mengenakan stelan jas hitam berdasi kupu-kupu, terlihat begitu rapi jika dibandingkan dari hari-hari biasanya. Tidak untuk hari ini, disebuah peti mati, kau berbaring memejam mata menghadap langit-langit. Tak terlihat senyum yang mengembang, walau aku ingin melihat senyum darimu sekali saja. Kupeluk engkau untuk terakhir kali pada siang yang riuh berbaur kesedihan. Semestinya esok pagi menjadi hari bahagiaku. Pedih sekali! Dan itulah perayaan terakhir memperingati tanggal kelahiranku bersamamu dengan diam dan airmata.

Teringat akan kata-katamu, menjadi lelaki janganlah cengeng, harus kuat dan tabah. Demi kau, ku berusaha untuk tidak menitikkan airmata. Tapi hati ini teriris luka yang sangat perih. Airmata yang kubendung menumpah juga saat melihatmu diam membisu di hari terakhirmu. 20 Juli kau telah berpulang. 21 Juli ratusan orang mengantar kepergianmu. Selamat jalan.

***

Kini, Dua puluh satu setengah tahun berlalu. Bila dihitung dengan hari, mungkin bukan waktu yang singkat. Lama sudah kau pergi, meninggalkanku begitu saja tanpa berucap selamat tinggal. Tak satupun pesan tertulis yang kau torehkan untukku. Kau hanya menitipkan pesan kepada istrimu, katamu, harus lebih bersabar dalam mendidik, dan menjadikan anak-anakmu agar lebih berguna.Sedang kau tak memikirkan dengan cara apa membesarkan anak-anak dari hasil perkawinanmu. Tanpa kau sadari, kau telah mengalihtugaskan kepala keluarga di pundak istrimu, seorang diri tanpa warisan yang kau tinggal.

Sepeninggalmu aku terbiasa menikmati hidup bersama seorang kakak dan istrimu, yang biasa kami panggil ibu. Kutapaki hanya bertiga. Namun selang satu tahun setelah kepergianmu, anakmu yang pertama diambilnya juga! Kemudian diasuh oleh ayah ibumu, dengan alasan membantu beban. Nenekkulah yang mengambil dengan paksa apa yang ibu miliki. Tanpa ayah-ibumu beralasan seperti itu, kuyakin ibuku mampu menghidupi anak-anakmu. Lengkap sudah kesedihan yang kami terima. Andai saja kau tahu, Apakah kau juga akan meneteskan air matamu seperti aku dan ibuku lakukan?

Kini tinggal berdua, aku bersama ibuku tercinta. Perlu kau ketahui, jika ibuku begitu setia denganmu. Bahkan terlalu sangat mencintaimu! Cinta itu tumbuh begitu besar hingga tak mau melepas masa jandanya. Inilah rahasia terbesar ibuku yang hingga kini masih kusimpan rapat-rapat. Kupastikan tak seorangpun tahu akan rahasia yang terpendam selama ini.Andai saja kau dapat mendengar, kubisikkan dipusara saat pertama kali ibu memberiku sebuah rahasia tentangmu. Tentang cinta kalian yang abadi.

Harus kau ketahui pula, ibuku masih menyimpan dengan rapi semua surat cinta beserta foto yang telah kau berikan kepada ibuku. Jika kami merasa rindu, kembali membongkar semua benda kenangan yang kau tinggalkan untuk kami. Kembali merangkai cerita tentangmu. Semua itu kami lakukan, untuk menumpahkan rasa rindu yang terpendam didalam hati. Rindu-rindu yang menggumpal dan kemudian membuncah hingga meneteskan airmata yang tak pernah kuseka sampai rasa rindu terlampiaskan.

Tak ada yang membimbingku dalam menapaki hidup. Ada pun, hanya kakak-adikmu yang membinaku berdasar pengalaman yang pernah kaulalui pada masa hidupmu. Itupun hanya berupa nasehat-nasehat yang sering kudengar. Inilah, itulah, apalah, ini-itu, itu-itu saja hingga betul-betul kuhafal. Pengalaman adalah guru terbaik, kata pepatah. Hanya saja aku tak mempercayai 49% semua cerita paman dan bibiku tentang cerita dan pengalaman hidupmu. Bukan berarti aku tidak percaya dengan semua kisah yang telah kau lakoni. Adikmu selalu melebih-lebihkan jika sedang antusias bercerita mengenaimu. Sedang orang lain -teman semasa hidupmu- menceritakan hal yang lain pula. Kontradiktif. Perlu kau ketahui, aku bangga dengan semua kisah nyata yang pernah kau alami. Akupun sedikit banyak terinspirasi tentang kisah hidupmu. Kaulah sang figur, dan bagian orang-orang yang mempengaruhi hidupku.

Banyak orang menilai diriku mirip dengan kau. Pembedanya hanya rambut saja, kau berambut ikal bergelombang sedang aku berambut lurus tipis. Dari segi hidung dan raut wajah, hampir mirip. Tak jauh beda jika aku membandingkan dengan foto pada masa mudamu. Jika aku menilai dengan prosentase hampir 89% aku memiliki kemiripan denganmu. Watakku persis dengan kau, itu kata nenekku, keras dan teguh dalam prinsip. Tapi entah dengan sifat dan kelakuanku apakah sama persis denganmu? Konon pepatah orang Belanda mengatakan; Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mungkin saja benar peribahasa bijak itu. Inilah karma yang kuterima sebab perbuatan dari masa lalumu.

Dua ratus empat puluh enam bulan, kami berpisah. Kau tak lagi bersama kami. Tak lagi bercengkerama di ruang makan. Bayanganku kau selalu ada ditengah-tengah keluarga kita. Kursimu selalu kosong disaat makan malam bersama keluarga. Tetapi aku selalu memposisikan dirimu selalu duduk di kursi yang terbiasa kau tempati. Di meja berbentuk persegi panjang, aku dan kakakku berdampingan, sedang kau dan ibuku berhadap-hadapan. Seperti itulah formasi perjamuan makan malam keluarga kita. Suasana berubah sepi, dan kini tinggallah sisa-sisa kenangan yang belum sempat terhapus. Dunia ini belum menggerus. Terbukti aku masih bisa kembali merunut kisahmu.

Aku masih ingat ketika adzan Ashar berkumandang. Yah masih ingat, betul-betul ingat masa kecilku. Saat itu aku sedang bermain dengan teman-teman sebayaku di pelataran sebuah masjid depan madrasah dekat rumah. Di kampungku setiap menjelang Maghrib seringkali mengadakan kegiatan belajar baca-tulis bahasa Arab untuk anak-anak, dan untuk orang dewasa pengajian (Tadarus). Sembari menunggu usai teman-temanku belajar, aku hanya duduk menunggu diselasar madrasah. Mendengar teman sebayaku belajar menghafal baca-tulis huruf Arab itu.

Waktu itu, aku sama sekali belum berniat belajar bahasa Arab seperti teman-teman sebayaku. Belum pernah melihat huruf Alif, Ba, Ta, Tsa, Jim dan huruf Hijaiyah lainnya. Hanya saja aku hafal satu surat -Surat Al Fatehah- yang kerap dibaca lantang secara berjamaah ketika hendak pelajaran dimulai. Itupun kudengar dari balik jendela ruang madrasah dan menirukan hafalan surat itu secara pelan-pelan sampai hafal diluar kepala. Namun di rumah, aku tak berani membacakan keras-keras surat yang tidak sengaja kuhafal dari pelataran masjid.

Belum usai pengajian dan bermain di pelataran masjid. Kau menjemputku dengan paksa dan menyeretku untuk pulang. Di perjalanan menuju rumah kau memarahi lalu menghukum dengan cara mengikat tubuhku pada sebatang pohon jambu didepan rumah. Kau menyalibku –seperti Yesus tersalib di Boggota-, menghadap arah tenggelamnya matahari dan mempertontonkan di khalayak umum. Aku hanya menunduk kala itu.Menangis tanpa air mata. Menahan sesak yang terasa dan menanggung malu yang tak terkira. Apalagi jika teman-teman sebayaku pulang dari madrasah, yang kebetulan sebagian teman melewati rumah. Mereka mengolok-olokku, dan aku tertunduk malu. Begitulah terus berulang jika aku tetap membandel bermain di pelataran masjid. Inilah pelanggaran terberat yang pernah kulakukan dan mendapat ganjaran yang berat pula. Di larang masuk dan bermain di Masjid! Kata ayah mengomeliku.

Takkan pernah terlupa, aku selalu ingat. Tatkala kau menggantungku di atas kusen pintu rumah dengan karung goni. Tangisku tak pernah didengar, semakin ku meraung semakin lama aku bergantung. Bagiku ini adalah pelanggaran terberat kedua. Masih menjelang Maghrib. Ketika itu aku sedang bermain-main di teras rumah, berlarian mengejar laron yang beterbangan, laron-laron sialan. Lalu tak sengaja menabrak lampu petromaks yang baru saja menyala. Menumpahkan minyak dan hampir membakar kursi di depan teras rumah.

Ibuku hanya diam menatapku penuh iba. “Pak sudah turunkan si kecil, kasihan!” ibuku membela dan membujuk. Berharap mensudahi hukuman yang kujalani. Namun sang ayah hanya diam seperti tak mendengar, acuh tak acuh. “Pak sudahlah, dia masih anak-anak. Turunkan ya pak?” ibuku memohon. “Biarkan saja si kecil menerima hukuman dari bapak, itulah akibat dari anak kita yang nakal” katanya dengan santai sambil menikmati cerutu yang dihisapnya. “Tapi pak, anak kitakan masih anak-anak” bela ibuku. “Bu, bapak mendidik anak kita supaya si kecil tak lagi nakal, lagian hukuman yang aku berikan tak menyakiti anak kita. Aku memberi pelajaran agar kelak dewasa nanti ia tak lagi berbuat nakal seperti ini!” tegasnya mempertahankan alasan mengapa ia menghukumku dengan cara seperti itu. Ibuku tetap membelaku.

Sementara aku yang masih bergantung hingga tertidur dan terbangun dalam pelukan ibuku diatas ranjang yang berkelambu. Dibelainya aku penuh kasih sayang dan mewanti-wanti agar aku tak nakal lagi.

Sedang hukuman lain, jika aku berbuat kesalahan melebihi batas kenakalan masa kanak-kanakku -versi ayahku-, aku dimasukan ke dalam gudang yang dulu pernah dijadikan lumbung (kini telah menjadi kamarku). Lalu mengangkat dan menaruhku di atas tumpukan karung berisi padi, kemudian mengunci pintu rapat-rapat dari luar. Hanya lampu teplok yang menerangi gelapnya gudang. Walau aku menangis, mengemis ampunan, aku tak pernah dikeluarkan dari gudang. Memang hukuman yang aku terima lebih manusiawi ketimbang hukuman-hukuman yang lain. Ibuku tanpa lelahmengiba dan terus membelaku, tetapi kau tanpa ampun memberikan hukuman itu padaku. Lagi sampai aku tertidur dan terbebas tatkala aku di pelukan ibu. Ibu selalu mengusap air mataku yang masih membekas, penuh kasih sayang. Takkan pernah kulupa, kan selalu kuingat.

Inilah pengadilan ala ayahku. Tidak diperkenankan adanya pengacara untuk membelaku. Tidak ada jaksa yang menuntut kesalahan dan memberiku hukuman. Hanya ayahlah sebagai hakim, mutlak yang memvonis hukuman. Ketika palu sudah kau ketuk. Maka, aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk membacakan pledoi. Tidak ada banding apalagi grasi. Masa hukuman sesuai selera ayahku dan pembebasan yang kudapathanyalah belas kasihan dari ayah dan rasa iba dari ibuku.

Tujuh ribu empat ratus delapan puluh tiga hari. Kulalui tanpa hukuman yang memalukan dihadapan teman-teman sebayaku. Tak ada yang menghukumku, andaipun aku nakal aku hanya diberi nasehat dan petuah bijak dari orang tua tunggalku (baca; Ibuku). Tidak ada yang melarangku bermain dipelataran masjid. Sama sekali tidak ada yang memberi hukuman! Dan inilah kemerdekaanku. . Senyumku semakin mengembang, namun hanyalah sementara.

Ayahku memang kejam. Hukuman yang kuterima hingga kini masih membekas dalam ingatan, walau sakitnya tak terasa hingga kini. Kutakkan pernah terlupa begitu saja. Di balik semua itu, kusadar kau melakukan semuanya supaya aku lebih tegar melanjutkan kehidupan setelah sepeninggalmu. Agar aku lebih kuat menjalani fase kehidupan yang tak berujung.

Seratus tujuh puluh sembilan ribu lima ratus sembilan puluh dua/179592 jam kita tak lagi bersama. Mencoba mengenang semua kisah tentangmu. Membuka dan menutup kembali kisahmu.

Tetap kau sebagai ayahku. Kau telah memberiku kehidupan yang penuh makna. Semoga kita diberikan kesempatan untuk kembali bertemu, walau hanya dalam mimpi. Kini, jalanku masih panjang, kelok dan berliku. Kuharus melanjutkan langkahku…

Untuk alamarhum “M”

Yang telah mengalami hidup di rentang waktu 14 Desember 1949 Hingga 20 Juli 1989

Jalan Simpang Karimata, 14 Januari 2010

(WFY)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline