“Jadi berapa usiamu, Nak?” suara itu terdengar tak asing lagi bagiku. Arah suara itu berada dibelakangku. Tanpa menoleh kujawab “Hampir 25, Pak!” aku masih memandang berseliweran ikan-ikan di kolam kaca. Suara itu sama sekali tak memecah konsentrasiku, tak sedikit pun kulepaspandangan mata pada warna-warni ikan dari balik kaca bening. Rasa-rasanya aku ingin seperti ikan-ikan yang bebas berenang di luasnya samudera, tiba di suatu pantai, kembali menjelma menjadi manusia lalu berjalan di daratan yang maha luas. Berenang dari samudera Hindia hingga Atlantik kemudian berkeliling antasbenua. Itulah khayalanku saat masih berumur belasan.
“Ehm lalu apa resolusimu menyikapi masa depan?” sembari berdehem ayahku kembali bertanya. Pertanyaan pendek itu sontak membuatku terkejut. Butuh hingga beberapa detik lamanya untuk menjawabnya.
“Entahlah?!” sekenanya saja aku menjawab. Aku tidak tahu reaksi ayah saat mendengar jawaban yang juga begitu singkat. Jawaban yang terlontar tanpa terpikir lebih dahulu. Kuyakin ia pasti terhenyak tak percaya mendengar jawaban itu. Bisa jadi ia kecewa. Aku berharap semoga saja tidak.
“Janokoku, bapak tidak mengarahkanmu untuk menjadi apa? Kuberi kebebasan kepadamu untuk menjadi apapun itu dan Bapak akan selalu mendukung apa yang kamu pilih” suara bijak dan tegas itu dikatakannya padaku. Aku hanya mengangguk, mengiyakan wejangan-wejangan darinya. “Sekalipun kau ingin mewujudkan cinta-citamu semasa kecil dahulu, sebagai seorang ayah pastinya aku mendukung. Apapun profesi itu yang penting halal dan tidak merugikan orang lain” tuturnya melanjutkan nasehat yang terputus di sela anggukan kepalaku.
Aku hanya menunduk. Sesekali mengulum senyum mendengar nasihat beserta dukungan dari ayahku. Sembari mengoreksi kembali ingatanku pada masa kecil. Sebuah cita-cita ingin berkeliling Nusantara, menjelajah dari pulau ke pulau dan dari benua ke benua. Cita-cita yang pada anak seusiaku, dimasa itu, emoh untuk dicita-citakan. Sebuah cita-cita yang tak kesemua teman-teman sebayaku menghendaki.
Kupalingkan badan tepat didepan ayah. Ayahku dengan senyuman terus memandang. Terlihat ia sudah mulai renta. Rambutnya memutih, jenggotnya pun beruban. Wajahnya lambat laun mengeriput dan pucat. Sedang di lehernya terbebat syal. Kuamati setiap jengkal tubuhnya, ia kelihatan tak lagi muda. Seketika terlintas di pikiranku, kelak aku pun akan mengalami seperti dia. Siklus manusia. Lahir-tumbuhkembang-hidup kemudian mati. Sangkan paraning nyawa, orang Jawa bilang.
***
Percakapan itu terjadi mengalir begitu saja, layaknya percakapan antara ayah dan anaknya. Diceritakanlah pengalaman panjang yang pernah dialami. Dari usia anak hingga remaja dilaluinya dengan masa-masa sulit, sesulit kondisi ekonomi keluarga dan politik pada jamannya. Pada masa mudanya, ia kemudian memilih untuk merantau. Jalan yang ditempuh inilah satu-satunya harapan untuk menyambung kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Di perantauan, pada kemudian hari bertemu dengan seorang gadis dan menikahinya sampai pada usia senja. Begitulah cerita singkat jalan hidup beserta lika-likunya.
Di akuinya, ayahku adalah seorang laki-laki yang romantis, dan ibuku mengamini. Ayahku juga sosok laki-laki yang berwibawa dan cukup disegani. Hingga kini masih banyak teman-teman karibnya yang masih bertandang ke rumah, walau hanya sekedar bertamu dan menyambung silaturahim atau sekadar mengobrol dan bertukar pikiran dengan ayahku.
Namun untuk urusan gadis dan percintaan, ayahku sempat di nobatkan sebagai pemuda playboy. Pendekar Pemetik Bunga, jika boleh aku memberikan julukan kapadanya. Julukan itu juga diakui oleh ibuku, sebab semasa ayah belum mengawini ibu. Ia kerap bergonta-ganti pasangan dalam menjalin kisah asmaranya. Hingga pada suatu ketika ia pun menambatkan hatinya kepada ibuku tercinta. Pernah kutanyakan mengapa ia bergonta-ganti, hinggap pergi lalu hinggap lagi? Apa sebab berkat ketampanan atau malah memang itu tabiatnya? Ayahku hanya tersenyum dengan pertanyaan itu. Dengan kalem dan bertanggung jawab ia menjawab “Bapak, bukan bergonta-ganti pacar anakku. Sama sekali tidak ada niatan untuk menyakiti hati perempuan yang dulu pernah bapak dekati. Sama sekali tidak! Pendekatan yang dilakukan bapak, semata-mata hanya untuk mencari pasangan hidup yang tepat. Hingga tepat pilihan itu jatuh pada ibumu” aku hanya tercenung mendengar uraian panjang yang dijelaskan olehnya. “Begitulah, bapakmu! Apa yang beliau katakan semuanya itu benar” ibuku menyahut dari belakang dan kami pun saling melempar senyum.
Itulah sekelumit cerita tentang seorang ayah. Dimataku, selalu saja aku memaksakan diri untuk menjadikan diri seperti dia. Dalam hidupku, aku mengidolakannya dan bagiku tak ada peran yang dapat menggantikan dirinya. Dialah pahlawanku.
***
“Ehm…Ehm” entah yang keberapa kali aku mendengar ayahku berdehem. Aku tidak begitu menghiraukan suara itu, dan aku masih duduk di tempat semula, terus mengamati ikan-ikan yang terpenjara di dalam ruang kaca. Hanya diam dan termangu, tak ada sesuatu yang terpikirkan. Ayah masih memandangiku. Kali ini juga ia melakukan hal yang sama denganku. Berdiam diri tanpa kata.
Tiba-tiba aku teringat pada diriku sendiri, pada usiaku yang tak lagi remaja. Bahkan bisa dikatakan aku sudah menginjak dewasa. Dewasa? Hah apa itu? Apakah seiring bertambahnya usia? Ataukan sebab pola pikir manusia yang sedikit lebih maju berorientasi kedepan? Pola pikir manusia yang terencana dalam menapaki kehidupan tanpa ketergantungan orang tua? Yah aku telah dewasa, boleh dikatakan seperti itu.
“Ehm” sekali lagi ia berdehem, kali ini deheman terdengar lebih keras. “Apa yang kau lamunkan, Nak?” kembali bertanya seraya memandangku lekat-lekat. Aku masih bergeming tak mengeluarkan suara. Didalam hati terasa sesak yang tak tertahan, serasa paru-paru saling bertubruk, berhimpit dan bergesekan. Sedang di kepala sudah berjubal bermacam-macam pikiran dan terasa ingin meledak. Namun mulutku tak mampu mengucap. Andaipun berkata-kata entah memulai dari mana? Seakan begitu sulitnya mengucapkan rangkaian kata yang ingin segera kumuntahkan. Aku masih terdiam.
“Bicaralah Nak! Katakanlah, sekalipun emosimu meluap bicaralah!” Ayah kembali bertanya dan aku masih seperti semula, hanya diam yang dapat kulakukan.
Kupandangi wajah ayah, dia hanya membalas dengan senyuman. “Bicaralah, Nak. Bukankah katamu diam bukan lagi emas?!” katanya dengan suara parau. Aku bingung akan memulainya dari mana, kutatap ayah lekat-lekat. Tak berasa mataku menitikkan bulir-bulir airmata begitu deras dan semakin tak terbendung. Ayah hanya diam lalu melihatku iba. Sepertinya ia hendak menyeka airmataku, tapi terburu kuseka olehku.
“Entah takdir apa yang memaksaku untuk melakukan seperti yang kulakukan saat ini” kataku menahan sesak yang berkecamuk hebat di dalam dadaku. Aku memulai berbicara, rasa-rasanya hidupku tidak seperti apa yang bapak dan ibuku harapkan. Ketika aku yang pernah kau timang. Aku masih ingat, ingat betul pada dongeng-dongeng, yang kuanggap itu sebagai harapanmu. Dan kini, aku tak mampu mewujudkan dongeng-dongeng itu. Kutakut kau dan juga ibuku yang selalu kucintai tak pernah merasakan kebahagiaan yang kalian harapkan dariku. Aku merasa belum mampu membahagiakan kau dan juga ibuku tercinta.
Mendadak mulutku tercekat, tak mampu lagi melanjutkan kata-kata. Airmata mulai mengucur deras tak henti-hentinya. Sesak yang menghimpit dada kian terasa menyakitkan dan membuatku terasa susah untuk bernafas. Kutundukan kepala dan membenamkan dengan kedua telapak tangan. Aku bergumam didalam hati “bodohnya aku”
“Anakku, kau tidak sedang membuat takdir. Itulah hidup. Terkadang tidak seperti apa yang kita harapkan. Dan percayalah Tuhan telah merencanakan jalan yang terbaik untukmu” ujar ayahku menebar senyum. Kedengarannya begitu teduh, sungguh menyejukkan hati.
Aku masih menahan isak. Kepala yang berjubal dengan bermacam pikiran, perlahan mulai terurai. Bagitu plong setelah mendengar nasehat yang baru saja kudengar. Aku tak menyangka, ayah yang dalam pikiranku seorang ayah yang kejam, bisa juga mengeluarkan kata-kata sebijak itu.
“Tapi mengapa Tuhan mentakdirkanku semacam ini? Tak adakah pilihan lain yang lebih baik untukku?”
“Tidak anakku! Percayalah, Ayah juga pernah mengalami nasib serupa denganmu. Disorientasi itu adalah bagian dari pendewasaan pola pikir kita sebagai manusia. Dan ketahuilah Tuhan maha adil nan bijaksana!”.
Aku hanya mengangguk mendengar petuah-petuahnya. Tak sepatah kata yang terucap. Ingin rasanya mengucap tapi, namun aku tak kuasa untuk berbantah kata mencari kebenaran atas dogma dan takdir omong kosong. Aku tak mau, atau mungkin belum mau megakui segala cerita tentang takdir. Aku tak mau melukai hati dan keyakinannya.
“Dan laluilah jalan itu. Niscaya, kaupun akan menemukan kebenaran!” suara ayah terdengar untuk yang terakhir kali. Dan iapun beranjak pergi, menghilang dari balik pintu tanpa berucap selamat malam untukku. Aku tercenung, masih melihat ruang kaca yang berisi air dan ikan-ikan yang masih berkitar-kitar.
***
“Ash-shalatu khairum minam-nauum”. Dari kejauhan terdengar muadzin menyeru seperti itu sebanyak dua kali. Lalu disambung dengan kalimat takbir dan diakhiri dengan kalimat tahlil satu kali. Sepertinya subuh telah tiba.
Pagi akan segera menjelang. Kabut sudah mulai turun, embun membasahi bunga-bunga yang akan bermekar. Tak terkecuali, hawa dingin merasuk sampai sum-sum tulang dan terasa menggigil ditubuhku. Aku menyembunyikan tubuh mencari kehangatan dibalik selimut.
Suara adzan yang terdengar beberapa menit yang lalu tidak kugubris. Kuanggap itu sebagai angin lalu saja, sebab aku sama sekali belum tertidur nyenyak. Gumamku dalam hati, kutahu aku seorang Mukallaf, aku ingat itu. Aku betul-betul sadar akan posisiku sebagai seorang muslim. Tapi terus terang aku belum mau melaksanakan seperti mukallaf pada umumnya. Aku tak tahu apa sebab semua itu. Mungkin yang kulakukan ini adalah bagian dari takdir yang sudah digariskanNya? Andaipun iya, kuharap pada akhirnya akan menjadi seorang yang benar-benar mukallaf seperti seorang muslim yang lain.
Matahari perlahan mulia menyinar. Terlihat terang berwarna jingga kemerah-merahan. Sinarnya perlahan menembus masuk dari balik celah tirai jendela, tepat menerpa wajahku. Kubuka mata perlahan-lahan, terlihat cukup menyilaukan mata. Kubalikkan tubuhku dengan posisi tengkurap, kulakukan alih-alih menghindar dari kilauan mentari pagi. Namun, sekali membuka mata, rasanya sulit untuk memejamkannya kembali. Saat itu juga aku terbangun dari tidur tapi tubuh masih merebah di ranjang. Begitu malas untuk segera beranjak dari pembaringan.
Menatap langit-langit kamar. Kembali mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Aku betul-betul terlupa. Antara realita dan ilusi hanya berbeda tipis. Benarkah ia hadir dan berkomunikasi denganku? Apakah benar ia menemuiku didalam mimpi?
Ya… Ya.. aku benar-benar teringat kejadian semalam. Ia betul-betul hadir dan menemuiku di dunia imajinasi. Tapi mengapa ia baru kali ini datang menemuiku? Kemana saja bung? Ah mungkin saja ia baru diberi kesempatan dan diijinkan untuk menemuiku. Aku sedikit menghibur.
Ya…Ya.. Aku ingat! Begitu jelas! Didepan sebuah akuarium aku bercakap-cakap dengannya. Aku memalingkan muka tepat didepan sebuah rak buku. Terpampang sebuah potret berpigura hitam. Kupandangi foto itu sembari sesekali mengumbar senyum sinis. Kuyakin, andai saja foto itu hidup, pasti ia pun akan membalas senyumanku. “Huh.. kau begitu tega dan jahat!” aku menggerutu dengan bercanda.
Kukepalkan tangan, menengadah ke langit-langit dan mengucap doa. Tenanglah dalam damai disana. Semoga kelak, kubisa menemuimu di alam yang sama. Entah dimanapun itu. Salam hangat dari ananda. Amien. Aku menutup doa.
Yogyakarta, 04 Januari 2007
(WFY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H