Lihat ke Halaman Asli

Utang untuk LRT Palembang, Aku Sih "No"!

Diperbarui: 16 Desember 2017   09:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.liputan6.com

Membangun transportasi umum yang nyaman dan tentunya murah menjadi salah satu hal yang sedang populer dilakukan oleh negara-negara berkembang di Dunia. Indonesia tidak kalah untuk mengikuti trend yang ada. Dengan jumlah penduduk sebanyak 258.704.900 jiwa  (Statistical Yearbook of Indonesia 2017), transportasi umum menjadi salah satu concern pemerintah saat ini. Salah satu proyek pendukung yang dilakukan adalah pada pembangunan LRT Palembang. 

Penyelenggaraan Event Internasional Asean Games yang secara kebetulan singgah di Provinsi Sumatera Selatan menjadi salah satu sebab musabab percepatan penyelenggaraan Kereta Api Ringan pembangunan  light rail transit/LRT sebagai salah satu transportasi massal dengan kapasitas angkut menengah. Proyek ini dipegang langsung oleh Kementerian Perhubungan.

www.kompasiana.com

Sebelumnya Palembang merencanakan membangun monorel, namun rencana pembangunan monorel tersebut kemudian dibatalkan karena kesulitan mencari investor yang dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu serta proyek dianggap kurang menguntungkan kemudian diganti dengan LRT yang dianggap lebih efektif. Proyek senilai 7,2 trilyun rupiah ini pada tahun 2016 dibiayai oleh PT Waskita Karya. Selanjutnya, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan akan mengalokasikan anggaran pembiayaan proyek tersebut pada APBN 2017 dan 2018. Sayangnya pada tahun 2017 ini terjadi pemangkasan dana alokasi anggaran pembangunan prasarana kereta ringan atau light rail transit Palembang, Sumatra Selatan, sebesar 50% menjadi Rp 2 triliun dari Rp 4 triliun.

Lalu bagaimana mengatasi hal seperti ini?

Apakah Indonesia harus meninjam kepada negara tetangga?

Atau Indonesia perlu mengemis bantuan demi memiliki LRT baru?

Sumber pembiayaan yang hanya mengandalkan APBN atau APBD menjadi salah satu penyebab proyek-proyek selalu mangkrak. Skema pembiayaan yang hanya mengandalkan APBD saja tidak akan membawa daerah-daerah di Indonesia ke tahap pembangunan lebih maju. Alokasi APBN dan APBD dengan jumlah banyak ternyata tidak menjamin keberlanjutan perputaran uang dalam suatu proyek, salah satu contohnya pada LRT Palembang ini. Mengandalkan dana konvensional, ternyata dana dipangkas hampir habis-habisan. Sekarang ini sudah tidak jaman! Skema pembiayaan baru yang inovatif tentunya bukan hutang atau menunggu belas kasih negara lain menjadi hal yang harus diasah kreatifitasnya.

Pilihan pembiayaan atau alternatif pembiayaan lain selain APBN dan APBD sangat banyak, namun apa yang paling dapat diaplikasikan?

Sejauh ini pembiayaan yang sering dilakukan oleh Indonesia adalah dengan menggandeng pihak swasta untuk melakukan kerjasama. Pada pembiayaan LRT ini Pemerintah cukup berhasil menggaet kerjasama salah satunya dengan Bank Sumsel Babel. Bank Sumsel Babel bersama kreditor sindikasi proyek prasarana Light Rail Transit Palembang telah mencairkan pinjaman tahap pertama sebesar Rp1,8 triliun kepada PT Waskita Karya (Persero) Tbk. 

Pemberi kredit sindikasi pembiayaan LRT Palembang terdiri dari PT Bank Negara Indonesia (Persero)Tbk atau BNI sebagai original mandated lead arranger and book runner, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd (BTMU) sebagai mandated lead arranger. Selain itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI, PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk atau Bank BJB selaku arranger. Adapun, PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung atau Bank Sumsel Babel bertindak sebagai partisipan.

Lalu apa yang didapatkan oleh investor perbankan diatas?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline