Lihat ke Halaman Asli

Nasib Kabupaten Sumenep Pasca PILKADA: Politik Uang dan Kekuatan Kolektif Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi

Diperbarui: 13 Januari 2025   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: NU Online https://www.nu.or.id/nasional/jenis-jenis-politik-yang-harus-diketahui-warga-nu-6ap9k 

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah momentum penting yang tidak hanya menentukan pemimpin baru, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial politik di tingkat lokal. Kabupaten Sumenep, yang terletak di ujung timur Pulau Madura, dikenal tidak hanya karena kekayaan budaya dan tradisinya, tetapi juga karena dinamika politik lokal yang kompleks. Pilkada menjadi ajang tarik menarik antara dua kekuatan utama: politik uang money politics yang didorong oleh pragmatisme politik, dan kekuatan kolektif masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai budaya lokal. Kedua kekuatan ini tidak hanya memengaruhi hasil Pilkada, tetapi juga masa depan Sumenep sebagai sebuah entitas sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam tulisan ini, saya mencoba menganalisis bagaimana benturan antara politik uang dan kekuatan kolektif masyarakat memengaruhi nasib Kabupaten Sumenep pasca Pilkada, dengan menggunakan perspektif sosiologi sebagai alat analisis.

Politik Uang: Cerminan Pragmatisme Sosial di Sumenep

Politik uang adalah fenomena yang sering kali menjadi bagian dari proses Pilkada, terutama di wilayah dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang tinggi seperti Sumenep. Dalam konteks ini, pemberian uang atau barang oleh calon kepada pemilih bukan hanya strategi politik, tetapi juga cara memanfaatkan kerentanan ekonomi masyarakat untuk meraih suara. Secara sosiologis, hal ini mencerminkan adanya hubungan patron-klien yang masih kuat dalam masyarakat Madura.

Max Weber, dalam teorinya tentang rasionalitas instrumental, menjelaskan bahwa tindakan masyarakat yang menerima uang atau imbalan dalam proses politik didasarkan pada kalkulasi rasional tentang keuntungan jangka pendek. Dalam masyarakat Sumenep, kondisi ekonomi yang tidak merata sering kali membuat tawaran materi dari calon pemimpin lebih menggoda dibandingkan janji politik yang abstrak. Politik uang menjadi mekanisme untuk memenuhi kebutuhan mendesak, meskipun hal ini dilakukan dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang, seperti kualitas pemerintahan dan pembangunan daerah.

Namun, politik uang tidak hanya berdampak pada individu yang menerima, tetapi juga pada struktur sosial secara keseluruhan. Dalam perspektif sosiologi konflik, seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx, politik uang mencerminkan upaya kelompok elit untuk mempertahankan dominasi mereka dengan cara mengeksploitasi kerentanan masyarakat. Hasilnya adalah penguatan ketimpangan sosial dan melemahnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara kritis dalam proses politik.

Melihat Sumenep dalam kondisi yang seperti ini sungguh sangat miris, akar rumput yang seharusnya menjadi kekuatan tak terkalahkan oleh pola politik bagaimanapun, justru dalam hal ini cenderung hanya dijadikan komoditas politik para elit. Tentu hal ini  menjadikan posisi masyarakat hanya sebagai objek yang sangat murah harganya dan bahkan terkesan sangat gampang dibodohi. Bahkan ironisnya, kondisi semacam ini terus berulang dari tiap periode. Politik uang tak terkalahkan seolah menjadi tuan bagi kekuatan kolektif masyarakat. Jika diperhatikan lebih lanjut Sumenep selalu menjadi langganan sebagai kabupaten dengan tingkat kemiskinan dan ekonomi yang mengkhawatirkan. Kemiskinan structural tentu yang menjadi akar dari pemasalahan ini. Kemudian kenapa setiap periode tetap demikian, tidak ada perubahan, stagnan. Atau kalaupun ada perubahan mengapa Sumenep tetap menjadi objek yang menerima predikat termiskin ketiga di Jawa Timur. Tentu kondisi semacam ini menimbulkan prasangka bahwa hal itu memang sengaja dikonstruk agar sekuat apapun pendidikan politik diberikan, namun kondisi ekonomi tetap dibiarkan stganan tentu pola piker masyarakat akan tetap materialistik dan pragmatis dalam urusan politik.  

Kekuatan Kolektif Masyarakat: Harapan untuk Perubahan Sosial 

Di sisi lain, masyarakat Sumenep memiliki tradisi kolektif yang kuat, yang dapat menjadi modal sosial untuk melawan politik uang. Tradisi gotong royong ghibah dan solidaritas berbasis nilai-nilai agama dan adat masih menjadi karakteristik utama masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Kekuatan kolektif ini, jika dimobilisasi dengan baik, dapat menjadi alat untuk menciptakan kesadaran politik yang lebih kritis dan mendorong partisipasi masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai moral.

Émile Durkheim, melalui konsep solidaritas mekanik, menjelaskan bahwa masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai bersama memiliki kapasitas untuk menjaga kohesi sosial, bahkan dalam situasi yang penuh tekanan. Dalam konteks Pilkada, kekuatan kolektif masyarakat di Sumenep sebetulnya sudah dilaksanakan oleh salah satu pasanagn calon. Tujuannya sangat jelas mendorong pemilih agar memilih berdasarkan visi dan misi kandidat, bukan sekadar imbalan materi. Hanya saja mayoritas sumber daya manusia di Sumenep masih terlampau jauh terlena oleh rayuan manis politik uang.

Padahal pada praktiknya kekuatan kolektif ini sudah diperkuat melalui pendidikan politik yang berbasis pada nilai-nilai lokal. Misalnya, forum keagamaan, seperti pengajian atau diskusi di pesantren. Namun sekali lagi, hal itu tak terlampau berdampak pada pengurangan pola negatif politik uang. Padahal sudah sangat jelas dengan cara ini, masyarakat tidak hanya diberdayakan secara politik, tetapi juga secara moral dan intelektual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline