Lihat ke Halaman Asli

Selayar Telah "Merdeka"

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak terasa lima tahun telah berlalu, saat saya menemani Syahrir Wahab berkeliling pulau-pulau Selayar berkampanye pada pilkada 2005. Saya sadar waktu itu, Syahrir Wahab tak lebih dari kandidat bonek. Penuh visi, nihil “gizi”. Pun tanpa tim pemenangan yang terlatih dan basis massa yang jelas. Serasa political gambling saja. Memenangi pilkada waktu itu tak lebih dari a mission impossible. Kekurangan sungguh nyata. Namun, satu kalimat, “Saya ingin memerdekakan rakyat Selayar!” yang tak bosan-bosannya diungkapkan Syahrir Wahab di setiap kesempatan, sudah cukup menjadi energi penyemangat. Mengingat rekam jejaknya selama tiga dekade berkarir di birokrasi, saya sangat yakin motif itu berdiri kokoh di atas landasan nurani. Bukan sekadar jualan kecap sebagaimana kebiasaan para pembual. “Tidak Merdeka” Selain kemenangan fenomenalnya, yang menjungkirbalikkan logika dan kalkulasi rasional, persepsi Syahrir Wahab mengenai kampung halamannya pun menarik dicermati. Saya sepakat bahwa “tidak merdeka” merupakan frasa paling tepat dan padat untuk menggambarkan Selayar saat itu. Saat berkeliling Selayar untuk pertama kalinya, saya merasakan betapa tidak beruntungnya menjadi orang Selayar. Di atas kendaraan, tubuh berguncang hebat akibat jalan berlubang atau sebatas jalan pengerasan. Saya tak mendapati sejengkal pun jalan beraspal hotmix, bahkan di ibukota sekalipun. Di pelosok malah banyak kampung yang masih terisolasi karena tiadanya jalan yang bisa dilalui kendaraan. Di pulau-pulau, kondisi jalan darat lebih parah lagi. Hampir semua berupa jalan tanah atau sebatas pengerasan. Becek di musim penghujan, berdebu di musim kemarau. Tak ayal, kampung-kampung yang terpisah, meskipun terletak di pulau yang sama, lebih mudah terhubung lewat jalur laut. Transportasi laut tak jauh berbeda. Kondisi hampir semua dermaga dalam keadaan rusak. Jumlahnya pun kurang memadai sehingga tidak jarang perahu yang saya tumpangi berlabuh di bibir pantai yang tak memiliki dermaga. Saat kulit mulai terasa tebal oleh keringat bercampur debu, saya mesti menerima kenyataan mandi dengan air asin. Debu dan keringat hilang, namun kulit tetap terasa tebal oleh endapan garam. Di pulau-pulau besar, seperti Selayar dan Jampea, warga sedikit lebih beruntung karena mereka masih bisa mengakses air tawar, meskipun harus mengambilnya dari sumur atau mata air yang letaknya kadang jauh dari perkampungan. Namun, di pulau-pulau kecil, tidak lebih mudah menemukan air tawar ketimbang minyak tanah. Di malam hari, kacamata minus yang saya kenakan diperparah oleh minimnya penerangan listrik. Tidak jarang saya tiba dan berangkat dari suatu pulau dalam kondisi gelap gulita. Kalau kurang waspada, tubuh bisa menabrak sana menabrak sini. Jangkauan layanan PLN dan perusahaan listrik daerah memang masih sangat terbatas. Sebagian penduduk memanfaatkan mesin-mesin genset, baik yang dikelola oleh pemerintah desa maupun milik pribadi, yang beroperasi rata-rata lima jam pada malam hari. Sementara penduduk berkantong tipis, yang jumlahnya mayoritas, harus puas dengan lampu minyak. [caption id="attachment_237183" align="aligncenter" width="300" caption="Pasangan H. Syahrir Wahab - Syaful Arif saat sosialisasi pemilikada beberapa waktu lalu"][/caption] Saat ingin berkomunikasi dengan dunia luar, khususnya saat berada di pelosok dan pulau-pulau, layanan telepon satelit menjadi satu-satunya pilihan. Baru “Halo!” yang terucap, papan penunjuk biaya sudah meneror dengan angka-angkanya yang melesat bak roket. Daripada kantong terkuras habis, hasrat berkomunikasi mesti diredam dulu. Momen yang juga selalu saya ingat saat kunjungan pertama itu adalah tingginya antusiasme warga setiap posko pengobatan gratis dibuka, sampai-sampai satu-satunya dokter yang ikut rombongan kewalahan melayani pasien, baik yang datang untuk berobat maupun yang sekadar memeriksakan kondisi kesehatannya. Di salah satu pulau, ada seorang warga yang sudah berbulan-bulan tidak mampu berjalan akibat kakinya tertusuk bambu saat terjatuh dari pohon. Sudah berulang kali dia bolak-balik ke puskesmas yang letaknya di pulau lain, namun alih-alih serpihan bambu berhasil diangkat, mendiagnosis bahwa ada benda asing di telapak kaki pasien saja tidak mampu dilakukan petugas puskesmas. Untunglah karena dokter yang menyertai rombongan kami sangat bernyali. Dengan hanya berbekal pisau silet dan alat suntik, kaki pasien itu dibedah, lalu dikorek-korek selama berjam-jam. Setiap rintihan sakit si pasien dijawab dengan suntikan obat bius. Alhasil, semua serpihan bambu berhasil dikeluarkan. Luka dijahit, lalu diperban. Tak lupa dokter yang sudah mandi keringat itu menitip obat-obatan. Beberapa bulan kemudian, si pasien mendatangi sang dokter dan berkata, “Terima kasih, Dok! Kakiku tidak jadi diamputasi.” Fenomena ini merupakan contoh kasus betapa layanan kesehatan masih menjadi barang yang mahal. Layanan di bidang pendidikan juga demikian. Sekolah setingkat SMP dan SMA, yang jumlahnya belum merata untuk semua kecamatan, masih kekurangan tenaga guru dan minim fasilitas pembelajaran. Hanya sekolah dasar yang tersebar merata, namun di samping gedungnya yang sudah pada reyot, tidak sedikit di antaranya hanya dilayani satu dua orang guru. Berbicara tentang mutu pendidikan tentulah tidak relevan. Dengan infrastruktur dasar (basic people infrastructure) dan pelayanan publik yang sangat tidak memadai, wajarlah bila kemiskinan, yang divisualisasikan oleh rumah-rumah sangat sederhana milik penduduk, tampak di mana-mana. Dari kota hingga pelosok desa. Dari pulau induk hingga pulau-pulau kecil terpencil nun jauh di Laut Flores. Fakta ketidakmerdekaan memang begitu kasat mata. Best Practice Lima tahun berselang, ada kepuasan batin setiap saya berkunjung ke Selayar. Jika menempuh perjalanan laut, dari kejauhan segera terlihat bangunan depo BBM dengan tangki-tangki bercat putih, berkapasitas 1.750 kiloliter, yang letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Pammatata. Keberadaan depo ini akan membuat masyarakat Selayar berhemat tidak kurang dari Rp 5 milyar per tahun untuk konsumsi solar, bensin, dan minyak tanah, karena harga eceran sudah menyamai HET yang ditetapkan pemerintah. Selain memangkas selisih harga, tentu saja tidak akan terjadi lagi kelangkaan BBM saat jalur distribusi terhambat cuaca buruk. Selain bangunan depo BBM, juga segera tampak dari atas kapal ferry dua menara pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB) 2 x 100 kW yang tampil mencolok di atas bukit Barubasa. PLTB ini salah satu pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan, selain PLTA mikrohidro 16 kW di Jammeng dan lebih dari 2.000 unit PLTS yang tersebar di pulau-pulau. Beberapa tahun lalu, tenaga-tenaga ahli dari BPPT telah meriset kemungkinan pemanfaatan sumber energi terbarukan lainnya, seperti energi gelombang dan pasang surut air laut, namun belum ditemukan lokasi yang memenuhi standar. Untuk mengatasi persoalan rendahnya pasokan listrik dan terbatasnya jangkauan layanan, pemerintah daerah telah mengambil solusi jangka pendek berupa pembangunan jaringan distribusi tidak kurang dari 26 kilometer sirkuit dan relokasi mesin pembangkit dari daerah lain untuk meningkatkan mutu dan jangkauan layanan PLN. Sementara wilayah-wilayah yang belum terjangkau jaringan PLN dan pembangkit listrik daerah, pemerintah daerah setiap tahun memberikan bantuan mesin genset. Rasio elektrifikasi pun meningkat tajam. Lampu minyak memang belum ditinggalkan sepenuhnya, namun listrik tidak lagi menjadi barang yang mahal. Setiba di Pelabuhan Pammatata, kita pun akan disuguhi aktivitas pembangunan pelabuhan laut untuk kapal-kapal berbadan besar. Pelabuhan ini akan mengintegrasikan Selayar ke dalam sistem transportasi laut nusantara. Sementara untuk melayani jalur pelayaran regional, pelabuhan penyeberangan di kecamatan terjauh, Pasilambena, juga mulai dibangun tahun ini, melengkapi pelabuhan sejenis yang sudah ada di Pammatata, Benteng, Pattumbukang, dan Jampea. Saat menempuh jalan darat menuju Kota Benteng sejauh 45 kilometer, akan sangat terasa kondisi jalan mulus yang hampir seluruhnya telah beraspal hotmix. Berkendara sepeda motor tidak lagi membuat pinggang terasa patah, dada terasa remuk. Kondisi jalan dari kota Benteng ke arah selatan menuju Pelabuhan Pattumbukang, yang jaraknya kurang lebih sama, pun demikian. Begitu pula jalan lingkar pulau Jampea sejauh 60 kilometer yang sudah ditingkatkan kualitasnya. Bahkan, jalan lingkar timur pulau Selayar yang akan menghubungkan Pelabuhan Pammatata di utara dan Pelabuhan Pattumbukang di selatan juga mulai dikerja tahun ini. Moda transportasi udara juga ikut berbenah dengan perluasan Bandara Aroeppala di Padang. Di sepanjang jalan tidak lagi dijumpai permukiman yang sewaktu-waktu bisa terancam banjir serta abrasi pantai dan intrusi air laut, karena adanya tanggul-tanggul pengaman pantai dan sungai. Selama empat tahun terakhir, di seluruh Selayar setidaknya telah dibangun 21 ribu meter tanggul di 81 lokasi. Setiap kali menginjakkan kaki di Benteng, saya pasti bergumam dalam hati, “Ha, ini baru namanya kota!” Jika lima tahun lalu, pusat pelayanan publik dan aktivitas ekonomi ini tidak jauh berbeda dengan ibukota kecamatan di daerah lain, Benteng kini sudah menunjukkan karakternya sebagai kota. Semua ruas jalan sudah beraspal hotmix, termasuk jalan arteri sekalipun. Jalan-jalan lingkungan pun sudah mulus berbalut beton atau paving block. Lampu-lampu penerangan, yang sebelumnya tidak terurus, mulai berfungsi, bahkan jumlahnya diperbanyak sehingga suasana kota di malam hari menjadi hidup. Lalu lintas mulai tertata dengan adanya traffic light di setiap persimpangan jalan. Saluran drainase sudah direhabilitasi. Tanggul sungai dan pantai dibangun untuk menghindari abrasi dan intrusi air laut. Di beberapa bagian, pantai bahkan direklamasi untuk memperluas ruang publik. Taman dan hutan kota dibangun. Bak-bak sampah tersedia untuk setiap rumah tangga. Pasar dan terminal kini berlokasi di tepi kota sehingga tidak lagi menimbulkan keruwetan. Kiri kanan jalan juga sudah ditanami pohon penanung. Dan, tidak lama lagi, kota kecil ini akan memiliki tiga jalan poros—sebuah antisipasi brilian atas perkembangan kota di masa mendatang. Warga Benteng kini juga sudah bisa menikmati air bersih, bukan lagi sebatas air sungai yang dialirkan ke rumah-rumah, berkat dibangunnya instalasi pengolahan air (IPA). Saat ini PDAM Selayar telah mengoperasikan tiga buah IPA dan segera lagi bertambah dengan mulai dibangunnya IPA di sumber mata air Tajuia, Kecamatan Bontomatene. Semestinyalah paling lambat dua atau tiga tahun mendatang Benteng mendapat anugerah piala adipura untuk kategori kota kecil. Tentu saja, daftar perubahan yang dialami Selayar selama lima tahun terakhir tidaklah berhenti sampai di sini. Tulisan singkat pastilah tidak cukup memadai untuk meng-cover semuanya, namun setidaknya ada beberapa capaian yang tidak ingin saya lewatkan, seperti sektor air bersih, terutama di pulau-pulau kecil yang sama sekali tidak memiliki sumber air. Untuk memenuhi kebutuhannya, selama ini penduduk pulau sangat mengandalkan tampungan air hujan atau mengambil di pulau lain yang memiliki persediaan air tawar. Bahkan tidak jarang pula mereka mendatangkannya dari kabupaten tetangga, seperti Bulukumba dan Sinjai. Kini, dengan adanya sepuluh unit instalasi penyulingan air laut yang tersebar di sejumlah tempat, penduduk pulau-pulau kecil bahkan tidak perlu lagi memasak air karena air laut hasil olahan sudah bisa langsung diminum. Salah satu perubahan mencolok lainnya adalah sektor ketahanan pangan, khususnya beras sebagai bahan pangan utama. Sebagai daerah kepulauan berlahan marjinal, wajarlah bila selama ini Selayar merupakan daerah net importer beras. Mungkinkah Selayar berswasembada beras? Sekilas terkesan mustahil, namun pemerintah daerah menjawabnya dengan sebuah program mercusuar, pencetakan seribu hektar sawah di pulau Jampea. Hingga akhir 2009, telah tercetak sedikitnya 700 hektar sawah. Untuk meningkatkan kapasitas sumber air baku pengairan, maka dibangunlah bendung, embung, dan saluran irigasi. Alhasil, luas panen bertambah dua kali lipat. Lewat program intensifikasi, produktivitas berhasil ditingkatkan dari dari 2,5 ton gabah kering giling per hektar menjadi 5,5 ton. Jumlah produksi beras pun meningkat lima kali lipat, dari 2.573 ton menjadi 13.221 ton. Sepertinya, swasembada beras sudah terbayang di depan mata. Sementara pemberlakuan kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis, yang disertai dengan peningkatan kualitas dan pemerataan infrastruktur serta pemenuhan tenaga guru dan petugas kesehatan, membuat masyarakat kian mudah mengakses layanan kedua bidang penting ini. Untuk urusan pemberdayaan ekonomi rakyat, saya tidak yakin ada daerah seagresif dan seambisius Selayar. Teramat banyak insentif yang telah diberikan pemerintah daerah, baik berupa sarana produksi, modal usaha, pelatihan, maupun pendampingan oleh tenaga penyuluh lapangan, sampai-sampai saya berpikir masyarakat Selayar terlalu dimanjakan. Bisa saja outcome-nya, berupa peningkatan kesejahteraan rakyat, relatif belum tampak, namun tidaklah bijak menegasikan begitu saja political will pemimpin daerah yang teramat istimewa ini. The last but not least, kemajuan mengesankan yang telah dicapai Selayar selama lima tahun terakhir adalah fakta yang tak terbantahkan. Selayar telah “merdeka”, telah terbebas dari keterbelakangan, dan tidak lagi terisolasi. Meskipun belum memiliki data pembanding, saya sangat yakin Selayar berada di jajaran teratas sebagai daerah yang perubahannya paling progresif di negeri ini. Saya kira, daerah yang baru saja meneguhkan kesadaran eksistensialnya lewat perubahan nama dari Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar ini sangat layak dijadikan obyek studi banding oleh daerah lain atas beberapa best practice yang telah dilakukannya. Betapapun, tantangan sebagai daerah kepulauan tentu saja jauh lebih rumit ketimbang, misalnya, daerah lain di Sulawesi Selatan. Dan, yang tidak kalah pentingnya, tentu saja tidak mudah mengelola daerah yang tingkat ketergantungan masyarakatnya terhadap pemerintah teramat tinggi, seperti Selayar. Untuk bisa melakukan perubahan berarti, perubahan yang by design, perubahan yang konsisten dan persisten, dibutuhkan pemimpin transformatif, berkarakter kuat, dan mumpuni dalam mengelola kekuasaan politik. Pada titik ini, terlepas dari kelemahan-kelemahannya sebagai manusia biasa, Syahrir Wahab patut diacungi dua jempol, kiri dan kanan. RUSLAN A. SERANG Social entrepreneur




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline