Lihat ke Halaman Asli

Berkarya Tanpa Batas: Ananda Sukarlan Ciptakan Rapsodia Nusantara No.39 untuk Disabilitas dengan Memanfaatkan TransAcoustic Piano

Diperbarui: 2 Januari 2024   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seni adalah bentuk ungkapan manusia yang tak terbatas oleh batas-batas fisik atau mental. Musik, sebagai bentuk seni universal, memiliki kekuatan untuk menyentuh jiwa dan menyatukan berbagai kalangan masyarakat. 

Namun, di tengah harmoni musik, seringkali terdapat tembok tak terlihat yang memisahkan mereka yang hidup dengan disabilitas dari pengalaman musik yang utuh. Dalam upaya menembus batas ini dan membuka pintu keindahan musik bagi semua, seniman kreatif seperti Ananda Sukarlan memainkan peran kunci.  

Dalam dunia seni, batas-batas seringkali dihadapi oleh kreativitas, tetapi ada kalanya ketidakberdayaan fisik atau mental dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengekspresikan diri melalui karya-karya musik.

Namun, Ananda Sukarlan, seorang komponis yang karyanya merentang di antara harmoni-harmoni budaya Indonesia, telah memecahkan paradigma tersebut dengan menciptakan Rapsodia Nusantara No.39. Karya ini tidak hanya memperkaya khazanah musik Indonesia, tetapi juga merangkul kelompok disabilitas dengan menghadirkan elemen inklusivitas yang luar biasa. 

Pencapaiannya dalam menciptakan karya ini menjadi semakin mengesankan dengan pilihan alat musiknya yang inovatif, TransAcoustic Piano. Dengan melihat lebih dekat pada perpaduan magis antara musik, inklusivitas, dan teknologi ini, kita dapat memahami betapa pentingnya "Berkarya Tanpa Batas" dalam mewujudkan keindahan musik yang dapat dinikmati oleh semua lapisan Masyarakat.

Tidak lama yang lalu, pianis Ananda Sukarlan memainkan Rapsodia Nusantara No.39. Lagu ini menggabungkan nuansa Spanyol dengan gaya musik Indonesia yang unik. Menariknya lagi, Ananda Sukarlan hanya memainkan tuts piano dengan tangan kiri. Ternyata, tindakannya memiliki alasan.

Sejak awal kariernya, Ananda Sukarlan telah menunjukkan kecenderungannya untuk menciptakan karya-karya yang tidak hanya membangkitkan emosi, tetapi juga menghadirkan inklusivitas dalam dunia musik.

Kebetulan, saya sering main piano sendiri karena ada piano di rumah. Saya adalah kebalikannya dari anak-anak yang sekarang sangat populer saat mengajar piano. Ananda menjelaskan bahwa orang tuanya selalu bertanya, "Hari ini udah main piano belum?" jika dia menjawab, "Hari ini udah bikin PR belum?" atau "Kamu udah mandi belum?" karena fokus saya hanya pada memainkan piano.

Namun, siapa sangka dia bisa mengatasi gangguannya dengan ketekunannya bermain piano. Ia belajar lebih banyak tentang emosinya melalui menulis musik, karena dia kadang-kadang mengatakan bahwa dia tidak tahu tentang mereka.

"Jadi waktu saya membuat musik dan mendengarkannya, saya benar-benar merasakan perasaan ini lagi" Ananda Sukarlan mengatakan bahwa kesedihan mungkin hanya terdiri dari satu kata, tetapi kesedihannya bisa seperti musik karena spektrumnya yang luas dan ia dapat mengungkapkannya dengan cara yang berbeda.

Musik membantunya mengungkapkan dan menyatakan apa yang tidak bisa ia katakan dengan kata-kata. Menurutnya, musik lebih spesifik daripada kata-kata. Dan akhirnya Ananda Sukarlan menjadi terkenal sebagai pianis dan komposer di Indonesia dan di luar negeri, terutama di Eropa. Ia bahkan menjadi pianis pertama yang bermain di atas kapal Greenpeace baru-baru ini. Rapsodia Nusantara No.39 adalah contoh nyata dari bagaimana seni dapat menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline