Bila melihat pemahaman masyarakat desa dalam memahami agama tidak bisa dipisahkan dari kultur masyarakat desa tersebut. Masyarakat desa yang sering diidentikkan dengan kekunoan, kampungan, ketinggalan zaman, atau apalah namanya yang pada intinya menganggap mereka masih kelas dua bila dibanding dengan masyarakat perkotaan. Agama yang berkembang di lingkungan masyarakat desa pun demikian, kecenderungannya budaya atau kebiasaan di masyarakat desa tersebut pastilah mempengaruhi cara mereka beragama.
Menarik bila kita berbicara tentang pemahaman masyarakat dalam beragama di wilayah gunung Kawi. Pikiran awal kita bila membincang tentang gunung Kawi pastilah tertuju pada tempat wisata religi di tempat tersebut. Sebuah tempat yang asri dan sejuk yang rasanya tidak salah bila menyebut tempat ini sebagai pelepas dahaga pikiran kita.
Melihat pemahaman masyarakat di wilayah gunung kawi, kami mendapat paparan dari seorang peneliti yang telah lama meneliti fenomena masyarakat di daerah tersebut. Beliau memberikan paparan bahwa pemahaman umat muslim dalam beragama di tempat ini di bagi menjadi 3 (tiga) yakni: abangan, kuningan dan putihan. Abangan adalah cara pemahaman sebagian masyarakat yang masih kental akan pengaruh budaya leluhur di wilayah tersebut. Kaum abangan dapat disebut juga Islam kejawen, yakni islam yang masih mempertahankan kultur budaya jawanya. Berbeda dengan abangan, kuningan adalah pemahaman masyarakat tentang agama yang mengkombinasikan antara agama dan kultur budaya tradisional masyarakat tersebut. Kaum kuningan sering didentikkan dengan kaum santri atau generasi muda. Sedangkan putihan adalah cara pemahaman masyarakat yang tak tercampur dengan yang lain (masih putih/bersih).
Di tempat initerdapat makam yang sangat disakralkan oleh penduduk setempat. Yang menyebabkan gunung kawi dipandang sebgai tempat yang kurang baik oleh sebagaian besar masyarakat di malang ataupun di luar malang adalah kaum abangan yang menyalah gunakan tempat sakral ini. Kaum abangan yang masih percaya akan animisme, membuat tempat ini sebagai tempat permintaan kepada leluhur mereka. Berbeda dengan kaum santri dalam hal ini kaum kuningan yang lebih membuat tempat ini sebagai tempat beribadah kepada Allah dengan cara istighasah, Tahlilan ataupun hal lain yang tidak menyimpang dari agama.
Dalam bidang sosial, masyarakat sekitar tempat wisata ini sangatlah terbantu. Semakin banyaknya wisatawan masyarakat sekitar banyak yang membuka bisnis serta banyak pula berceceran pengemis di jalan menuju tempat wisata. Lalu bagaimanakah ini dalam mempengaruhi pemahaman mereka dalam beragama?
Sepengetahuan penulis, agak sulit bila melihat gairah beragama di daerah ini. Materi masih di tempatkan sebagai tujuan hidup. Malah kita akan merasa miris bila sebagian masyarakat malah membuat pandangan yang menyimpang tentang daerah ini semakin baik. Kultur abangan yang berasal dari golongan tua hampir akan membangun kembali tempat yang mereka sakralkan, namun hal itu dapat dicegah oleh kaum kuningan dan Pemerintah.
Terima Kasih, semoga bermanfaat dan selamat Berkarya para Kompasianer!
Salam Senyum Kompasiana… :)
Selamet Hariadi, Be Best Together!
.
Silahkan memberi KOMENTAR Terbaik Anda serta NILAI pada Tulisan ini.
baca juga:
- Tips Mudah & Jitu Mendapat Ide MENULIS
- Cara Efektif Mendapatkan Investor
- APLI & Bisnis Multi Level
- Jangan Merasa Rendah Indonesia!
- apa itu Filsafat Jiwa?
- Android? Apaan sih?
- Kiat agar Lingkungan Jadi “Sahabat” Kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H