Lihat ke Halaman Asli

Stefanus Daru Nelahi

Penulis Paruh Waktu, Petualang Penuh Waktu

Virus Corona, Obat untuk Bumi yang sedang Lara, Benarkah?

Diperbarui: 12 Mei 2020   23:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Virus SARS CoV-2 yang menjadi biangnya penyakit COVID-19 telah merubah dunia pada awal tahun 2020 ini. Hampir semua segi terdampak oleh infektan tak kasat mata ini, mulai dari ekonomi, kesehatan, sosial, hingga politik.

Hingga bulan kelima tahun ini, hampir tidak ada negara yang luput dari serangan virus yang mampu menyebar dengan sangat cepat ini. Dampaknya, liga-liga sepakbola ditunda, pusat-pusat perekonomian tutup, dan ribuan bahkan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. Itu belum ditambah dengan ratusan ribu orang yang meregang nyawa akibat virus Corona.

Para tenaga medis dan fasilitas kesehatan dibuat pontang-panting untuk menangani korban infeksi virus ini. Tak jarang, dengan alat perlindungan seadanya, mereka harus merawat para pasien COVID-19. Di pundak merekalah harapan untuk segera mengakhiri pandemi ini dibebankan.

Namun, di samping pusaran berita buruk bertubi-tubi tersebut, beberapa pihak mencoba membangun narasi yang lebih positif. Salah satu yang populer adalah bahwa virus Corona yang kini melanda merupakan upaya bumi memperbaiki kondisi dirinya.

Alkisah, bumi, tempat kita hidup dan menginjakkan kaki, sedang sakit keras. Perbuatan manusia yang semena-mena menjarah "tubuhnya" dan melukainya dengan polusi tanpa henti membuat bumi berada dalam salah satu kondisi terburuk sepanjang sejarah. Inilah pemanasan global yang berulang kali ditolak eksistensinya oleh para pelaku ekonomi terbesar dunia.

Namun, virus Corona berangsur-angsur memulihkan "kesehatan" Sang Gaia. Langit kota-kota yang menjalankan lockdown dikabarkan menjadi lebih bersih. Objek-objek yang biasanya tidak terlihat karena tertutup oleh polusi juga dikabarkan kembali menampakkan diri. Lapisan ozon yang sebelumnya rusak pun diberitakan mulai pulih.

Saking populernya narasi ini, Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, dalam homili (khotbah) beliau saat Misa Minggu Paskah pun menyinggungnya. Menurut Doktor Kitab Suci ini, mewabahnya virus Corona merupakan "balasan" atas perlakuan semena-mena manusia terhadap alam.

Pemikiran bahwa virus Corona "menyembuhkan" bumi sebenarnya sah-sah saja. Apalagi, bukti di lapangan memang menunjukkan demikian. Namun, apakah ini adalah pemikiran yang tepat untuk digaungkan pada situasi krisis ini? Tidak semudah itu, Ferguso.

Fakta bahwa hampir 300 ribu jiwa melayang akibat COVID-19 tidak bisa diabaikan begitu saja. Lantas, tegakah Anda mengatakan kepada keluarga mereka, bahwa kepergian para korban jiwa tersebut telah membuat bumi menjadi lebih baik? Tentu tidak.

Sangat tidak manusiawi, rasanya, untuk menggulirkan narasi "sembuhnya" bumi di tengah banyaknya korban jiwa yang tumbang. Rasanya seakan-akan mereka menjadi tumbal atas indahnya pemandangan dan segarnya udara yang hanya bisa dinikmtai oleh para penyintas.

Satu lagi kelemahan narasi ini adalah soal kontinuitas. Dengan logika virus Corona sebagai "obat", bukankah secara tidak langsung mereka yang mencetuskannya berharap pandemi ini dapat berlangsung lebih lama, agar kesembuhan bumi semakin menyeluruh? Omong kosong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline