Menjadi sebuah kebutuhan dunia pendidikan kita, ketika kondisi dunia persekolahan terus mencari bentuk yang paling apik untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi generasi bangsa yang lebih humanis dan berkarakter.
Sekolah atau madrasah pada umumnya, kadang kala begitu super sibuk, mulai dari guru, tenaga kependidikan, bahkan kepala sekolahnya, begitu juga pemerintah dalam hal ini Kemendikbud.
Persoalan dunia pendidikan kita memang tak akan pernah habis, bak menanam sayuran pasti akan tumbuh rumput-rumput yang menghiasinya, dan menjadi pekerjaan bagi si penanam untuk benar-benar memaknai secara utuh, tidak separuh hati tentunya.
Menengok hak dan kewajiban antara objek pendidikan (anak dan orantua) subjeknya pihak sekolah, tentunya tidak serta merta dimaknai bahwa objek hanya sekedar dijadikan sasaran oleh si subjek itu sendiri, dan menjadi aneh ketika objek memiliki peran menjadi subjek atas kebutuhannya sendiri.
Menjadi jelas bahwa, persoalan selama ini masyarakat kita (orang tua) lebih memiliki kecenderungan cukup pasif terhadap perkembangan pendidikan anak-anaknya, merasa telah membayar dan memenuhi kewajiban terhadap sekolahnya, habis itu tinggal nunggu saja ketika ada panggilan pengambilan raport atau rapat wali siswa (terkait sumbangan) dan lain-lain.
Dibalik sudut pembiasaan, pihak sekolah apapun harusnya mulai berbenah, sekedar berbagi atas apa yang sedang saya lakukan (menyelenggarakan madrasah kecil) setingkat SMP di lereng selatan gunung slamet, tepatnya kampung pesawahan desa Gununglurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.
Memanfaatkan segala keterbatasan sebagai peluang solutif tentunya, belum ada guru yang pasti, kita pun akhirnya berkali-kali mencoba mengambil langkah seribu, yang kadang kala yang tidak mungkin menjadi mungkin dan benar-benar sering terjadi diluar batas perencanaan sebenarnya.
Sering kali guru kita itu serba mendadak, siapa (relawan) yang siap dan mau berbagi menjadi subjek dan objek pengajaran bagi anak-anak MTs PAKIS, maka saat itulah langsung mengiyakan dan proses pun terus berjalan hingga menuai bentuknya.
Madrasah berbasis kerelawanan, tanpa ada sebuah ikatan yang jelas, yang ada hanya hak dan kewajiban yang sama-sama harus saling memahami.
Basis relawan kita mulai dari sekolah setingkat SMA, Mahasiswa, Praktisi, Dosen, dan sahabat-sahabat guru yang ikhlas melarikan diri dari sekolah induknya untuk sedikit terus mau berbagi memberikan pengajaran.
Kerelawanan itu tak akan pernah mati, karena panggilan jiwa sejatinya. Kerelawanan yang dari awal kita semai adalah orang tua siswa itu sendiri, siswa dan orang tua bukan dimaknai sebagai objek pendidikan saja, melainkan peran menjadi subjek itu dirasa harus lebih diprioritaskan.