Lihat ke Halaman Asli

Hasil UKG Rendah Diklatnya Bisa Lebih Mudah

Diperbarui: 9 April 2016   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alasan dan tujuan UKG perlahan-perlahan namun pasti, tidak lagi menjadi topik perbincangan di kalangan guru. Para guru akhirnya berkonsentrasi melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi UKG. Lalu, bagaimana dengan hasil UKG? Apa yang akan terdampak oleh hasil UKG. Informasi sahih pun akhirnya muncul. Kekhawatiran guru bahwa nilai UKG akan berdampak terhadap pencairan tunjangan profesi akhirnya sirna. Menurut informasi yang berkembang pada saat itu, hasil UKG hanya akan digunakan untuk pemetaan diklat yang harus diikuti oleh para guru. Batas nilai kompetensi yang harus dicapai oleh guru pun muncul dan dikenal sebagai Kriteria Capaian Minimum (KCM) yaitu 55. Artinya guru yang mendapat nilai kurang dari 55 dianggap belum mencapai kriteria minimal dan belum kompeten untuk menjadi seorang guru, sehingga harus mengikuti diklat tertentu.

Seperti biasanya, entah dari mana sumbernya dan siapa penyebar informasi ini, jenis dan jenjang diklat yang harus diikuti pun mulai mencuat ke permukaan. Informasi yang dianggap paling tepat pada saat itu, menyatakan bahwa jenis diklat diklasifikasikan berdasarkan besaran nilai UKG. Jika nilai UKG kurang dari 55, maka guru tersebut harus mengikuti diklat tingkat dasar. Untuk capaian nilai UKG mulai dari 55 sampai dengan 74, maka harus mengikuti diklat tingkat menengah. Sedangkan untuk guru yang mencapai nilai 75 ke atas, akan mengikuti diklat tingkat lanjut. Pengelompokkan jenis diklat berdasarkan capaian nilai UKG mulai disikapi oleh para guru. Mereka pun secara perlahan namun pasti mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti diklat sesuai dengan capaian nilai masing-masing.

Namun, apa yang terjadi belakangan? Ternyata nilai UKG tersebut tidaklah sekedar menentukan jenis diklat yang harus diikuti. Melainkan berpengaruh terhadap beberapa elemen “keguruan” seseorang. Misalnya saja bagi guru yang belum tersertifikasi, mereka tidak akan terpanggil untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), jika nilai UKG-nya tidak mencapai 55. Selain itu, nilai UKG yang dicapai seseorang ternyata tidak serta merta menentukan jenis diklat yang harus mereka ikuti. Capaian kompetensi dipetakan untuk masing-masing guru. Sehingga kembali terjadi “perdebatan” di kalangan para guru. Pemetaan kompetensi guru dimunculkan dengan membagi kompetensi guru menjadi 10 elemen. Masing-masing elemen terdiri dari kompetensi pedagogik dan profesional. Setiap elemen kompetensi tersebut ditandai dengan tinta hitam dan merah. Jumlah elemen yang ditandai tinta merah kemudian menentukan jenis diklat yang harus diikuti oleh seorang guru. Namun, pada dasarnya semua guru kemudian harus mengikuti diklat. Diklat Instruktur Nasional (IN) diikuti oleh guru yang tanda merah di “rapor”-nya 0-2; diklat daring (online) diikuti oleh guru yang tanda merahnya 3-5; diklat daring kombinasi diikuti oleh guru yang tanda merahnya 6-7; dan diklat tatap muka diikuti oleh guru yang tanda merahnya 8 atau lebih.

Perdebatan timbul karena adanya semacam “ketidaksesuaian” jenis diklat yang harus diikuti oleh seorang guru. Kalau sebelumnya guru yang mendapat nilai UKG 55 atau lebih merasa tenang, karena berhasil mencapai bahkan melampaui KCM, kini kembali “dipusingkan” dengan jenis diklat yang harus diikuti. Karena pada kenyataannya, ditemukan guru yang mendapat nilai di bawah KCM (misalnya 40) memperoleh rapor yang lebih baik daripada guru yang mendapat nilai sesuai KCM (55). Bahkan nilai 75 bisa “dikalahkan” oleh nilai di bawah 70. Meski hal ini bukanlah sesuatu yang harus disesali atau “diributkan”, namun terjadi kebingungan di kalangan para guru peserta UKG. “Masa nilai 83, jenis diklatnya lebih berat dari nilai 65. Apakah sudah yakin soal yang digunakan itu valid? Apakah yakin software yang digunakan itu memberikan informasi yang akurat?”, demikian penggalan kalimat yang terlontar dari beberapa guru. Tapi apalah hendak dikata, seperti biasanya para guru harus menerima kenyataan, meski tak sesuai dengan harapan dan kadang bingung dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Yang jelas, para guru berharap pada waktu yang akan datang informasi yang disampaikan itu benar-benar akurat dan disampaikan di awal bukan di akhir seperti sekarang ini, apa itu UKG, untuk apa UKG, apa tindak lanjut UKG, dan sebagainya. Sehingga siapaun akan dapat melakukan hal terbaik untuk mengikutinya, dan akhirnya akan menerima bagaimanapun hasil yang diperolehnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline