Lihat ke Halaman Asli

Menyelami #AdaApaDenganGunretno

Diperbarui: 14 Desember 2016   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini saya mengamati sedang ramai tagar #AdaApaDenganGunretno yang beredar di media sosial. Yang kemudian memicu rasa ingin tahu saya sebagai seorang jurnalis yang juga punya latar belakang aktivis pro demokrasi saat era 98 dulu.

Gunretno, pemimpin gerakan anti pabrik semen khususnya milik Semen Indonesia, tinggal di Dusun Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Namun justru dikenalnya di Rembang. Artis impor lah kurang lebih Pak Gun ini ya, orang Pati tapi ngetop di Rembang.

Gunretno dikenal sebagai tokoh yang sangat vokal dan berani. Konon ia berasal dari Masyarakat Samin. Alasan ancaman lingkungan dan kemaslahatan petani menjadi salah satu yang melatarbelakangi aksinya. Dan Pak Gun ini berhasil mengorganisir perlawanan hingga sedemikian besar. Beberapa produknya di antara lain adalah demo di depan Istana Merdeka, ratusan tenda perjuangan yang ditinggali oleh ibu-ibu dengan gelar Kartini Kendeng, juga puluhan bus yang rutin merantau ke Jakarta guna melakukan aksi demonstrasi serta melakukan ancaman dan gugatan ke pengadilan. Banyak lagi aksi Gunretno dan teman-temannya yang menggambarkan betapa getolnya ia dalam menolak Semen Indonesia secara khusus untuk beroperasi di Jawa Tengah.

Baru-baru ini, bahkan Pak Gun dan kawan-kawan secara bersama mengelola aksi Long March Rembang-Semarang. Mereka start pada 5 Desember dari Rembang dan Finish di Semarang pada 9 Desember. Simpati publik pun mengalir via media sosial serta gosip jalanan di kalangan aktifis. Seolah-olah mendukung gerakan Gunretno adalah sikap mulia, heroik dan keren karena membela kebenaran. Hampir seluruh aktifis, orang-orang kampus, ulama, dan endorser medsos dimobilisasi untuk memojokkan Semen Indonesia yang dipersepsikan negatif. Padahal sejatinya ceritanya tidak seperti itu. Anda akan geleng-geleng kepala betapa kemunafikan sudah terjadi terang-terangan akibat aksi jalanan ini.

Di tengah lantang suara Gunretno memimpin perlawanan terhadap pembukaan pabrik Semen Indonesia di Rembang. Ternyata tanah kelahirannya di Pati telah secara resmi dieksplorasi oleh pabrik semen swasta milik asing. Ya, usut punya usut pada 8 Desember lalu telah terbit akta pendirian perusahaan Semen di Pati. Perusahaan tersebut adalah PT. Asia Cement Pati yang merupakan grup dari Heidelberg Cement Group yang memiliki basis di Jerman. Heidelberg yang juga memiliki pabrik semen Indocement bersama Grup Salim ini akan bereksplorasi di Pegunungan Kendeng, Kayen, dan Tambakromo Pati, Jawa Tengah (foto terlampir).

Nah loh ini aneh. Justru saat tanah kelahirannya dieksplorasi perusahaan semen (asing), persis di daerah yang dijadikan kontroversi soal lingkungan dan petani lokal, kok Mas Gunretno-nya malah seperti menutup mata. Nah, sebenernya saya dan banyak orang seperti saya mulai bertanya-tanya sebenernya Gunretno ini punya kepentingan atau agenda apa dibalik 'perjuangannya' menolak beroperasinya pabrik Semen Indonesia di Rembang.

Terlebih, data lapangan yang didapat mengatakan bahwa mayoritas warga Rembang, khususnya desa-desa seputar pabrik, mendukung keberadaan Pabrik Semen ini. Saya justru yakin bahwa penolakan Gunretno dan teman-temannya ini memiliki motif suruhan akibat perang bisnis di sektor industri semen yang tujuannya adalah membunuh perusahaan semen milik bangsa sendiri.

Apalagi kita ketahui bahwa pasar semen di Indonesia potensinya luar biasa besar karena pemerintah Indonesia secara khusus dan kawasan Asia Tenggara secara umum akan terus menggenjot pembangunan infrastruktur di seluruh wilayahnya. Mulai dari pabrik semen asal Eropa (Holcim-Swiss dan Heidelberg-Jerman yang bergandengan dengan Salim Grup). Yabg paling baru adalah kehadiran pabrik semen dari Tiongkok (http://m.antaranews.com/berita/266253/perusahaan-semen-china-bangun-4-pabrik-di-indonesia). Seperti, CONCH di Kalimantan (http://m.antarakaltim.com/berita/24390/semen-produksi-perusahaan-china-dipasarkan-di-kaltim) dan SDIC di Papua (http://m.detik.com/finance/industri/d-2845464/perusahaan-china-bangun-pabrik-semen-pertama-hingga-pembangkit-listrik-rp-6-t-di-papua). Selain itu, sampai pabrik semen milik swasta seperti Semen Merah Putih (milik Wilmar, Martua Sitorus) Pabrik semen ini dituding bermasalah karena banyak menyelundupkan tenaga asing dari Cina (http://m.cnnindonesia.com/nasional/20150816093859-20-72444/kisah-ratusan-pekerja-china-di-tanah-lebak/; http://m.kompasiana.com/noldeforestasi/wilmar-usai-rusak-hutan-kini-selundupkan-semen_54f7fcf9a333112b6f8b5138; http://m.okezone.com/read/2015/07/03/320/1176008/bkpm-tak-khawatirkan-400-pekerja-china-susupi-pabrik-semen-cemindo).

Motif perlawanan skala kecil, sama-sama bermotif persaingan bisnis, bisa kita temukan pula di sejumlah proyek di mana jika ada satu kontraktor yang kalah dalam tender maka kerap memobilisasi kelompok-kelompok preman, ormas atau LSM-LSM yang butuh duit untuk menghambat berjalannya sebuah projek. Padahal proyek tersebut untuk kemaslahatan rakyat banyak dan untuk kepentingan nasional. Dalam situasi di mana donor asing semakin minim kehadirannya maka banyak LSM-LSM ini harus pintar-pintar mencari projek, yang penting isu-nya sejalan dengan platform mereka tanpa melihat secara jernih persoalannya. Akibatnya idealisme masyarakat sipil dijual murah.

Gerakan perlawanan atas BUMN Semen Indonesia di Rembang ini jelas memakan biaya besar. Anda bisa bayangkan mulai dari mobilisasi demo ibu-ibu ke Jakarta, sewa bis, buat tenda, munculnya dukungan para endorser top di media sosial, pemberitaan di media, keterlibatan jaringan LSM dan aktor-aktornya. Dari situ bisa dilihat bahwa ada pemodal besar yang berusaha memobilisasi masyarakat untuk melawan Semen Indonesia di Rembang. Dan itu dilakukan dengan menggaet tokoh-tokoh LSM utama di negeri ini.

Apakah Gunretno tidak paham jika dirinya dimainkan dalam kasus rivalitas bisnis semen ini? Tidak mungkin ia tidak paham jika sudah sejauh dan sedalam ini keterlibatannya. Apakah Gunretno tidak mampu berpikir jernih, objektif dan bersikap nasionalis mengingat ia pasti paham dengan soal kepungan perusahaan semen asing di negeri sendiri?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline