Tak banyak yang tahu, belum banyak yang tahu memang tentang kisah sebenarnya dari pro-kontra masyarakat pegunungan dengan PT. Semen Indonesia. Saya pun baru melihat kebenaran saat mendapatkan informasi dari warga di wilayah tersebut. Setelah sebelumnya, saya hanya mendapatkan informasi dari media mainstream yang sebagian besar hanya memotret keterangan dari kelompok kontra. Maklum, mungkin karena pemberitaan yang ditulis akan lebih laku atau menarik minat pembaca jika merekam keterangan dari kelompok kontra.
Ibu Sumarti namanya, bukan nama sebenarnya, karena khawatir akan membahayakan Ibu Sumarti jika saya sebutkan nama sebenarnya. Bu Sumarti tinggal di Desa Kajar, Kecamatan Gunem, salah satu desa yang terletak paling dekat dengan Pabrik Semen Indonesia berdiri di Kabupaten Rembang. Pada waktu itu, saya berkunjung di Desa Kajar guna melihat Pipanisasi yang dibangun oleh Semen Indonesia guna mencukupi kebutuhan air bersih warga Desa Kajar dan Pasucen.
Bu Sumarti memberikan keterangan mengenai sikap masyarakat setempat dan apa yang telah dilakukan oleh Semen Indonesia di Kabupaten Rembang. Saat saya melontarkan pertanyaan tentang gelombang penolakan yang ramai diberitakan secara nasional. Anehnya, Bu Sumarti dengan polos menjawab ”Ora ono mas tiang mriki”. Dalam bahasa Indonesia, dia menyatakan bahwa tidak ada warga sekitar pabrik yang aktif dalam gelombang penolakan tersebut.
Dia turut menyampaikan bahwa Embung Tegaldowo yang telah dirampungkan pihak Semen Indonesia di awal bulan kemarin, telah banyak membantu warga desa khususnya yang bertani Palawija dan holtikultura. Sampai saat ini, petani terdaftar guna pemanfaatan embung tersebut tercatat sebanyak 200 Kepala Keluarga (KK). Kebetulan juga, salah seorang anggota keluarganya adalah petani yang terdaftar dalam program pemanfaatan embung tersebut.
Informasi ini kemudian menguatkan data-data yang saya kumpulkan dari open source bahwa aktor gelombang penolakan tidak murni datang dari masyarakat setempat. Hal itu ditunjukan dari foto-foto yang dapat secara bebas diunduh di google, yang menggambarkan keinginan Petani agar pembangunan Pabrik Semen Indonesia dilanjutkan di Kabupaten Rembang. Selain itu, keterangan Ibu Sumarti yang menjelaskan bahwa petani mendapatkan fasilitas dan pendampingan dari Semen Indonesia, membantah informasi yang tersebar pada media mainstream bahwa petani setempat menolak Semen Indonesia.
Saya tidak dapat mengatakan bahwa petani yang melakukan demonstrasi adalah kelompok yang dimobilisasi atau kelompok bayaran. Namun, yang dapat saya yakinkan adalah mereka bukan masyarakat Kabupaten Rembang, bukan masyarakat desa setempat. Saya berharap, lakon Goro-Goro Gunung Kendeng ini dapat segera ditemukan, agar masyarakat yang ingin berkembang tidak terus menjadi korban dalam kisahnya. Sekian ulasan singkat saya, Wassalamualaikum Wr.Wb.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H