Proyek kereta cepat Jakarta – Bandung yang merupakan mega proyek transportasi, kerja sama antara pemerintah Indonesia dan China yang membentuk joint venture company PT. Kereta Cepat Indonesia China (PT. KCIC). P
erlu diketahui bahwa beberapa BUMN membentuk konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT. PSBI) yang terdiri dari PT. Kereta Api Indonesia, PT. Jasa Marga, PT. Wijaya Karya dan PTPN VIII. Joint venture company antara PT. PSBI dengan konsorsium China inilah yang membentuk PT. KCIC.
Biaya konstruksi dan nonkonstruksi awal pembangunan proyek kereta cepat ini US$6,07 miliar, dalam pejalanannya mengalami pembengkakan hingga menjadi US$8 miliar. Pada awalnya proyek ini menerapkan skema pendanaan business to business model yang bertujuan agar tidak membebani masyarakat atau pun utang negara. Setelah mengalami pembengkakan anggaran yang jika dikalkulasikan sekitar 27 Triliun rupiah, pemerintah merencanakan skema pembiayaan melalui APBN. Hal ini berbanding terbalik dari kebijakan pemerintah di awal penetapan proyek.
Menurut Perpres No 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta Bandung disebutkan bahwa pendanaan proyek berasal dari penerbitan obligasi oleh konsorsium BUMN atau perusahaan patungan; pinjaman konsorsium BUMN atau perusahaan patungan dari lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan luar negeri atau multilateral; serta pendanaan lain sesuai ketentuan Undang - undang.
Pembiayaan tidak menggunakan APBN, serta tidak mendapatkan jaminan dari pemerintah. Peraturan ini kemudian dirubah dengan dikeluarkannya Perpres No 93 tahun 2021, menyebutkan bahwa yang dimaksud pembiayaan lainnya adalah APBN yang berupa PMN dan penjaminan kewajiban dari pimpinan konsorsium BUMN.
Pembiayaan melalui APBN akan diambilkan dari dana sisa penggunaan anggaran (SILPA) tahun 2020 senilai 4,3 Triliun rupiah. Tentu hal ini menimbulkan pertentangan di kalangan pengamat. Pemerintah dianggap tidak konsisten dengan perencanaan awal proyek ini dan memunculkan indikasi kesalahan kalkukasi investasi.
Penggunaan dana APBN sebesar itu seharusnya dapat dialokasikan untuk program kesejahteraan masyarakat dan penanganan Covid19. Ada kemungkinan bahwa nantinya dana PMN tidak akan berhenti pada tahap konstruksi saja, melainkan juga pada saat sudah beroperasi dan pada masa pemeliharaan, mengingat bahwa investasi pada proyek ini merupakan investasi jangka panjang.
Beberapa pihak berpendapat bahwa strategi pendanaan yang dilakukan pemerintah dengan menggunakan APBN dinilai tepat. APBN akan dikucurkan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) yang diberikan kepada PT KAI selaku pemimpin konsorsium sebagai base equity capital.
Dengan suntikan dana dari APBN, diharapkan proyek tidak mangkrak dan dapat selesai tepat waktu sesuai target pada tahun 2022, mengingat proyek sudah berjalan. PMN dianggap sebagai solusi jangka pendek agar proyek dapat selesai sesuai target.
Menurut masyarakat transportasi Indonesia (MTI), proyek kereta cepat Jakarta – Bandung penting dan krusial, terutama untuk sektor transportasi publik di Indonesia di masa depan, sehingga konektivitas regional dapat terbangun.
Menimbang adanya pro dan kontra penggunaan dana APBN untuk pembiayan proyek kereta cepat Jakarta – Bandung, yang paling penting adalah bagaimana proyek dapat selesai sesuai target waktu dan biaya, mengingat progress pekerjaan konstruksi sudah hampir 80%.