Lihat ke Halaman Asli

Dari FOMO ke JOMO: Hidup Lebih Santai dan Bahagia dengan JOMO

Diperbarui: 1 Maret 2021   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Austin Distel on Unsplash 

Akhir-akhir ini, FoMO atau Fear of Missing Out semakin ramai diperbincangkan oleh banyak orang, termasuk para pakar marketing dan kesehatan mental. Sindrom FoMO ini perlahan mulai dimanfaatkan untuk menciptakan produk yang hype di pasaran, sehingga keuntungan produsen akan berlipat ganda seiring meningkatkan konsumen yang melakukan pembelian. 

Di sisi lain, FoMO sudah masuk dalam gangguan kesehatan mental, hal ini berdasarkan beberapa pakar yang mulai khawatir fenomena ketakutan akan ketertinggalan tren bakal semakin meluas di kalangan generasi Y dan kelompok generasi Z.

Platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter melambangkan FoMO, kekhawatiran tidak up to date akan sesuatu. Timeline pada media sosial tersebut dibanjiri dengan update-an status, pembahasan politik, meme, foto, dan berita terbaru. 

Media sosial membuat para penggunanya ketagihan dengan fitur-fitur dan isi yang disajikannya. Terutama melalui fitur “like” yang dapat menstimulasi asupan dopamin di otak yang membuat para penggunanya kecanduan akan kepuasan instan, perhatian, dan kesibukan. Dalam keseharian, tak jarang banyak orang menghabiskan waktunya untuk men-scroll timeline media sosialnya karena takut akan tertinggal dan melewatkan sesuatu.

FoMO adalah singkatan dari “Fear of Missing Out” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai rasa ketakutan akan ketinggalan sesuatu. Ketinggalan yang dimaksud adalah ketinggalan berita-berita terkini di media sosial maupun ketinggalan dalam hal meng-update sesuatu yang terbaru. 

Kata FoMO muncul di Urban Dictionary sebagai sebuah kata pada tanggal 14 April 2011. FoMO juga dianggap sebagai sebuah bentuk kecemasan sosial-kompulsif yang memicu kekhawatiran seseorang akan kemungkinan melewatkan kesempatan untuk melakukan interaksi sosial, pengalaman, atau peristiwa memuaskan lainnya. Hal ini seringkali dipicu oleh postingan yang terlihat di media sosial.

Berkebalikan dengan FoMO, Joy of Missing Out atau yang lebih dikenal dengan istilah JoMo adalah cara hidup yang lebih santai dengan menerima dan mensyukuri keadaan saat ini dan tidak terlalu memberi perhatian akan hal-hal yang sedang trending. Hayley Phelan (2018) dalam artikelnya di majalah New York Times menuliskan: “JoMO is about disconnecting, opting out and being OK just where you are.” 

Menurut Hayley, suka atau tidak, pada kenyataannya manusia memang membutuhkan teknologi; hanya saja manusia sejatinya tidak membutuhkan teknologi sebanyak yang dipikirkan oleh manusia dan menjadi JoMO adalah tentang bagaimana menemukan keseimbangan itu. Kristen Fuller (2018), seorang dokter dan penulis di Psychology Today, mengatakan pada dasarnya JoMO adalah tentang menjadi puas dengan kehidupan saat ini. 

Perilaku gaya hidup JoMO memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjalani hidup dalam ritme yang lebih lambat, lebih terfokus pada relasi dengan sesama manusia, kemampuan untuk mengatakan ’tidak’, memberikan ruang khusus terhadap diri sendiri yang terlepas dari ketergantungan teknologi, serta memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk merasakan segala emosi yang ada.

Studi ilmiah yang membahas secara spesifik tentang gaya hidup JoMO memang masih sangat sedikit. Berbeda dengan studi ilmiah tentang gaya hidup FoMO yang telah diteliti oleh banyak peneliti. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline