Lihat ke Halaman Asli

Sekar Muriani

Mahasiswa

What If: Penggunaan Kendaraan Pribadi Dibatasi?

Diperbarui: 5 September 2022   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi kendaraan pribadi (pexels.com/Life Of Pix)


Bagaimana jika penggunaan kendaraan pribadi seperti mobil atau sepeda motor dibatasi?

Pertanyaan seperti itu tentunya akan menuai kontroversi dari berbagai pihak. Jelas tentu saja. Dewasa ini, kendaraan pribadi sudah menjadi barang wajib punya bagi siapapun, salah satunya sepeda motor. Tentu saja hal utama itu semua karena kebutuhan, yang mengharuskan kita menggunakan sepeda motor karena jarak tempat tuju yang cukup jauh. Kebutuhan yang dimaksud seperti keperluan berangkat kerja, untuk berangkat sekolah ataupun kuliah, atau untuk sekedar membeli belanjaan di pasar, dan berbagai kebutuhan lainnya.

Sama halnya dengan mobil, seiring taraf kesejahteraan hidup masyarakat yang semakin meningkat, orang-orang dari kalangan ini tidak cukup puas hanya dengan sepeda motor sehingga dibeli lah mobil. Tujuan utama pembelian mobil baiklah dikatakan untuk kebutuhan kerja. Alasan kedua, kebanyakan sebagai prestige. Benar, untuk melihat bagaimana orang itu terlihat kaya ya punya mobil. Kalau di kampung begitulah pandangan warga sekitar. Jadi punya kendaraan mewah itu udah kayak standarisasi kekayaan, sebagai bentuk menunjukkan eksistensinya.

Tidak dipermasalahkan memang, toh memang dia kelebihan uang, secara mampu untuk membeli sebuah mobil pribadi. Di sebuah perumahan di kampung halaman saya, dia memang sangat mampu terlihat dari rumahnya yang bergedung tingkat dan di garasi mobilnya ada tiga mobil pribadi dengan berbeda merk. Tiga anggota keluarga di rumahnya, tiga juga mobilnya. Belum lagi dengan motornya. Itu baru satu rumah. Masih banyak rumah modelan begitu, dan bisa diperkirakan baru dalam satu perumahan sudah bisa dihitung ada berapa banyak kendaraan pribadi. 

Ada juga di sebuah perumahan yang bukan perumahan elite sewaktu saya tinggal di kota. Kebetulan saat di kota, saya suka berjalan-jalan memasuki berbagai perumahan. Rasanya seperti keseruan tersendiri menjelajah ke tempat baru. Masing-masing rumah sedikitnya memiliki satu unit mobil. Namun, masalahnya rumah yang memiliki mobil ini tidak memiliki garasi. Tidak usahlah garasi, halaman pekarangan rumahnya saja tidak muat untuk sebuah mobil. Model perumahan yang ini teras rumahnya langsung bertemu dengan pagar rumahnya, hanya jalan setapak untuk lewat saja menjadi pemisahnya. Nah, masalahnya orang yang punya mobil seperti ini sering parkirnya di pinggir jalan dan masalahnya itu loh sangat menggangu sekali menurut saya. Mana jalan gang perumahan itu cuma muat satu mobil, jadi kalau misalnya mobilnya mau keluar area rumah kudu mundurin sampai keluar dari gang sempit itu secara bergantian dengan pemilik mobil tetangganya yang lain.

Tidak bisa dimungkiri bahwa hanya dalam sebuah perumahan saja sudah bisa dihitung berapa banyak jumlah kendaraan pribadinya. Alhasil, kita bisa lihat hingga saat ini kemacetan terjadi dimana-mana. Tingkat polusi udara di perkotaan bisa dikatakan sangat tidak sehat, jika kita membandingkan dengan pedesaan.

Polusi yang disebabkan asap kendaraan pribadi (pixabay.com/Geralt)

Saya sempat tinggal di kota besar dalam waktu satu setengah tahun. Saat di kota, saya merasa kasian dengan bumi ini. Setiap harinya, tidak ada hari tanpa macet. Yeah, walau bukan jenis kemacetan parah seperti di Ibukota, tapi tetap saja namanya juga macet. Jam-jam macet itu sekitar pukul 07.00 hingga pukul 08.00, setiap Senin-Sabtu. Karena jam orang saat memulai aktivitas. Lalu, kemacetan terjadi kembali pada pukul 11.30 - 13.00, jam saat ishoma (istirahat, sholat, makan). Karena yang saya lihat, beberapa orang memilih makan siang di luar. Satu hal yang saya tahu saat itu, ternyata orang kota jarang memasak. Mungkin bisa dikatakan karena pekerjaan para orang kota berbeda dengan orang di desa, khususnya bagian perkantoran, karena pekerjaan mereka lebih menyita banyak waktu sehingga untuk bisa mengurus diri sendiri aja udah syukur, begitu. Lanjut, kemacetan juga terjadi saat sore sekitar pukul 16.30-18.00 dimana jam orang sibuk pulang kerja, dan anak sekolahan yang pulang sore juga baru pulang. Saat malam kemacetan juga kembali terjadi, terutama saat malam minggu. Pokoknya kalau malam minggu saya memilih untuk rebahan di rumah sambil baca buku daripada harus bertarung dengan kemacetan. Belum lagi suara klakson yang saling sahut-sahutan bikin nambah pusing.

Yang ingin saya sampaikan, di kota padahal sudah tersedia fasilitas yang cukup memadai. Mungkin di kota saya transportasi umum itu belum maksimal. Hanya ada Bus seperti Trans Metro. Tidak ada transportasi umum seperti commuter line di kota saya. Selain Bus, alternatif transportasi umum lainnya yaitu angkot. Yang mana keamanannya sangat tidak terjamin. Sering terjadi perampokan dan juga kasus pelecehan. Membuat kita berpikir dua kali sebelum menaikinya, walau bisa dibilang angkutan umum lebih murah harganya. Namun, sejenis angkot juga tidak bisa memasuki pusat kota. Dan bus, tidak beroperasi hingga malam hari. Yang terkadang bagi orang yang memiliki pekerjaan yang mengharuskannya untuk lembur, harus memesan taxi dengan biaya yang sedikit lebih mahal. Yeah, walau kini sudah dipermudah dengan adanya layanan seperti Grab, Gojek, Maxim sedikit mempermudah bagi yang tidak membawa kendaraan pribadi ketika bepergian. 

Katakanlah di Jabodetabek yang moda transportasi umumnya sudah cukup memadai. Terlihat dari adanya KRT, MRT, LRT, Bus Trans. Namun, apakah transportasi umum itu sudah benar-benar cukup memadai dan tergarap dengan baik? Kenapa yang notabenenya di kota besar dengan segala kemudahan tersedia, segelintir orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum itu sendiri? Apakah transportasi umum itu sendiri sudah cukup efektif dan juga efisien? Alasan yang pertama seperti, kurangnya kedisiplinan dari transportasi umum. Niatnya mau berangkat kerja cepet ngelak macet, eh taunya salah satu transportasi yang ingin dinaiki malah mengalami keterlambatan sehingga orang-orang lebih memilih untuk menaiki kendaraan pribadi saja. (sebuah pengalaman pribadi dari seorang teman). Selain itu, alasan lainnya mungkin seperti aksesnya yang masih sulit dijangkau. Saya tidak pernah tinggal di Pulau Jawa apalagi Jabodetabek, jadi kondisi secara langsung di sananya gimana saya juga kurang tau. Hingga pada akhirnya kemacetan tiada henti terus terjadi.

Lantas bagaimana untuk mengurangi kemacetan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline