Sainem...
Terminal Tirtonadi Solo, seperti biasanya, selalu ramai. Lalu lalang manusia, juga bus-bus AKP/AKDP, membuat seakan roda kehidupan di tempat ini berjalan begitu cepat.
Tapi, coba simak di depan terminal. Sebuah taman yang teduh tapi (maaf) agak tak terawat terlihat begitu santai. Keteduhan dedaunan hijau membuat beberapa orang asyik bermalas-malasan. Menikmati tiupan angin dan aroma pagi menuju siang yang, hoam.., bikin ngantuk.
Di tengah ke-slowly-an taman tersebut, sosok Sainem melintas. Badannya kecil, kulit gelap. Dia mengenakan kebaya bunga-bunga yang sudah tampak usang. Mungkin kebaya itu telah dia kenakan sedari usianya 30-an tahun. Sekarang usia wanita itu 57 tahun. Siapa kira, padahal dari penampilannya, dia terlihat bugar dan sumringah. Di usianya yang sudah tua, dia masih mampu menggendong keranjang berisi lebih dari 10 botol jamu. Sementara di kedua tanggannya, ada ember berisi air dan keranjang lain berisi snack alias makanan kecil. Setengah hari dia keliling menjajakan jamu.
Pagi jelang siang itu, aku memang sedang nganggur dan sedikit galau (hehe). Biasa, karena masalah hati dan wanita. Iseng, ku langkahkan kaki ke taman yang belum lama sempat diusulkan jadi perpustakaan kota itu. Bertemulah, aku dengan sosok Sainem. Dengan gaya kenesnya, Mbok Inem, begitu dia mau dipanggil, menawarkan jamunya. “Yang ini bikin awet muda, yang ini bikin cantik, nah yang ini bikin singset dan rapet,” tawar dia, sambil terkikik.
Seorang bapak yang kebetulan berada di dekat Sainem pun terlihat gemes dengan gaya kenes ibu satu ini. “Ditanya dulu mbok, sudah nikah belum,” kata si bapak.
“Iya, Mbok. Saya belum menikah lho. Kasih jamu sehat saja,” kataku.
Sainem bukan sosok yang fenomenal. Bukan Ponari yang sanggup memancing ribuan orang datang untuk berobat. Bukan pula Malinda Dee yang membuat banyak mata terbelalak karena kecerdikan atau kenakalannya. Dan, tentu juga bukan Syahrini, yang tiba-tiba mendapatkan simpati masyarakat setelah ditinggal pasangan duetnya, Anang Hermansyah (waduh, infotainment :)). Tapi wanita paruh baya ini meninggalkan kesan di mataku. Dia bijak.
Sainem tanpa diminta lantas bercerita. Dia katakan, semasa muda dia sungguh cantik. Kecantikannya terjaga gara-gara rutin minum jamu (haha, iklan dia). Suaminya sampai tergila-gila. Tapi di usai 40-an tahun, sesuatu terjadi dengan giginya, Mbok Inem merasakan giginya sakit bukan main. Seorang tetangga menyarankan dia menggunakan obat bernama Aspro untuk mengobati sakit tersebut. “Disuruh ditempelkan di gigi yang sakit,” begitu kata si tetangga.
Mengutip sebuah blog, saya mendapatkan keterangan, aspro adalah obat pain killer dan antiinflamasi (anti rematik, anti Gout/asam urat, anti bengkak). Obat golongan ini sebagian besar bersifat asam agak tinggi (ibuprofen=Nurofen, advil, aspirin, aspilet, aspro, asam mefenamat=ponstan, mefinal).
Terlepas dari cerita apakah aspro itu, yang jelas, beberapa hari setelah Sainem menaburkan aspro di giginya yang sakit, sakit giginya memang segera sembuh. Namun yang terjadi kemudian, gigi di sekitar bagian yang ditaburi goyah. Beberapa waktu kemudian, sejumlah giginya tanggal. “Makanya, saya ompong begini,” ujar Mbok Inem, sembari menunjukkan giginya yang memang hilang di beberapa bagian.
“Tapi, walaupun ompong, suamiku tetap sayang kok. Kalau aku pulang rumah capek, ya tetap mau memijit atau ngerokin,” kata dia, bangga.
Ya, Sainem bilang apapun yang terjadi dengan pasangan, kita harus terima. Cinta yang sempurna adalah cinta yang sanggup mengalahkan egoisme atas keinginan diri sendiri. Sainem boleh tua, tapi cinta sang suami pada ibu lima anak ini tetap subur. Begitupun sebaliknya, Mbok Inem. Meski puluhan tahun menikah dan sang suami yang dahulu tampan bak Raden Gatotkaca kini keriput, Sainem tetap cinta.
Pada akhir obrolan antara Sainem, aku, dan beberapa bapak yang pagi itu di taman, dia menegaskan bahwa suami adalah prioritas utama setelah seorang wanita menikah. “Nomor satu suami, dua keluarga. Kalau masih single, nomor satu keluarga.”
Tampaknya, cinta begitu besar yang tertanam di hati Sainem itulah yang membuat di usianya yang menua, dia tetap bugar, tetap sumringah dan bersemangat. Aku jadi malu padanya, karena pagi itu sempat terserang galau. Meski, harus ku akui galau ini belum sembuh benar, tapi bertemu Mbok Inem membuat pikiran kusutku agak terbuka. Sainem mengingatkanku bahwa ada kehidupan indah yang harus dijalani. Dan soal indah itu, kita lah yang bisa menciptakannya, bukan orang lain. Cinta yang tulis tanpa pamrih, akan membuat segalanya indah.
Thanks ya Mbok Inem, kapan-kapan saya tumbas (beli) jamu lagi ya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H