Lihat ke Halaman Asli

The Coffee Theory

Diperbarui: 31 Maret 2021   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar dari https://joya.info/

Satu cangkir kopi dengan gula aren yang ia pesan sudah kuberikan. Ia tersenyum padaku sebelum aku kembali ke meja barista. Lalu lintas di pikiranku mendadak kacau hanya karena mataku tak sengaja kembali pada perempuan berambut sebahu yang duduk di dekat jendela itu. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba saja pikiranku sekusut ini, seperti mendung yang pelan-pelan tampak dari kaca jendela.

Demi Tuhan, aku tidak ingin memandang perempuan itu lebih lama. Namun, rupanya hatiku tak bisa mencerna kode yang amat sederhana dari otakku sendiri. Hujan perlahan turun. Tempiasnya membuat kaca di depan perempuan itu basah, mengembun, mengaburkan kelengangan jalan dan segala hal yang ada di luar. 

"Satu Arabika Gayo. Cowok di dekat pintu." Mario berbisik. Ia rekanku di kafe ini. Meski umurnya lebih muda dariku, kelihaian Mario dalam meracik kopi tak perlu diragukan.

Tanganku membuka satu bungkus arabika Gayo dan menghidu aromanya beberapa detik seperti yang selalu aku lakukan sebelum meracik kopi. Mengakrabi setiap butir bijinya. Dan, sumpah, saat kepalaku mendongak untuk menuju mesin kopi, pandanganku kembali tertuju pada perempuan itu. Pada caranya memandang hujan di luar, pada detik-detik ketika ia perlahan melumat keik tiramisu, pada saat ujung jarinya menyentuh cangkir dan bibirnya lembut menghirup kopi. Seolah-olah semua yang ia lakukan memberi satu nuansa aneh dalam diriku. Aku sendiri masih merabanya. Semacam memantik diriku pada sesuatu sekaligus menenggelamkannya pada dasar paling jauh. 

Untunglah Mario datang. Tangannya cepat menyambar satu cangkir arabika Gayo dari meja dan begitu saja mengalihkan pandangan serta pikiranku. Bukan Mario jika tak membuat kekacauan, bahkan menjelang kafe ini tutup. Setelah memberikan kopi pada pria muda yang duduk di dekat pintu, langkahnya mengarah pada perempuan di dekat jendela. Sialan! Mario membuat perempuan itu tersenyum, menerbitkan setitik rasa tidak rela yang aneh menjalariku. Entah bagaimana ekspresiku ketika Mario kembali dengan senyuman yang sungguh aneh.

"Ia menunggumu. Kubilang padanya, kamu ingin berkenalan," Mario terkekeh.

"Sialan!"

"Mataku tidak buta, Jos. Kamu pikir aku tak tahu apa yang kamu lakukan sedari tadi?"

"Sok tahu. Itu penyakitmu dari dulu."

Mario mengangkat bahunya. Ia kembali terkekeh. Aku pura-pura menuju toilet demi menghindari tatapan matanya yang terasa sekali menodong sebuah pengakuan dariku. 

Aku menghela napas panjang. Satu kali. Dua kali. Namun, detak jantungku malah menggila. Ah, sudahlah. Kalau bukan sekarang, mungkin aku tidak akan pernah dapat kesempatan lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline