Matahari sudah kembali ke peraduan hampir satu jam yang lalu. Namun, dua anak manusia masih saja terduduk di salah satu bangku taman. Keduanya diam. Entah memang tidak ada yang perlu dibicarakan, atau masing-masing terlalu sibuk dengan pikirannya. Si wanita menggigit bibirnya, sedangkan si pria, melipat kedua tangannya di depan dada. Kadang, si wanita pura-pura merapikan rambut panjangnya yang berombak, dan si pria menggoyangkan salah satu kakinya. Jelas, keduanya sama-sama dilanda kecemasan.
"Al?" si wanita memulai lagi percakapan yang telah terhenti cukup lama.
"Ya?" Sang pria tersentak. Ia menegakkan duduknya.
"Kamu melamun?" tanya Maya yang duduk di samping Al.
"Tidak," jawab Al singkat.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Al?"
Al tidak menjawab. Ia malah menyandarkan punggungnya. Sandarannya dingin, dan itu terasa sampai ke kulit tubuh Al. Ia lalu menengadahkan kepalanya ke langit. Ia melihat banyak bintang malam ini, tapi bulan hanya sepotong yang tampak.
"Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu," lanjut Maya. "Apa kamu berpikir soal kita?" Maya melontarkan pertanyaan tadi dengan hati-hati. Ia tahu, Al seorang pria yang sensitif. Tetapi, Al bukan seorang pemarah. Jika Al tersinggung akan sesuatu hal, ia hanya diam. Al sanggup tidak bicara walaupun ia sedang di samping Maya. Dan, Maya sedang tidak ingin hal itu terjadi saat ini. Ia ingin Al bicara.
"Memangnya ada apa dengan kita?" Al malah balik bertanya.
Maya mengerutkan dahi. Ia bingung dengan sikap Al malam ini. Ia pun ikut menyandarkan punggungnya ke bangku taman. "Tidak ada. Tapi, barangkali saja kamu ingin mengatakan sesuatu. Kamu ingat, kan, malam ini tepat satu tahun kita saling mengenal? Ya, hanya... saling mengenal..." Maya menunduk, sudut matanya mulai basah.
"Kamu mau kita yang seperti apa?" Sejak tadi pertanyaan Al selalu singkat, tetapi semuanya butuh jawaban yang sebaliknya. Panjang lebar.