Ada yang ujug-ujug nanya ke saya. Apakah naskah yang hendak diterbitkan memerlukan sentuhan tangan editor?
Jawabannya, tentu saja perlu.
Kenapa perlu?
Ya kali nggak pake editing, itu saltik berceceran di mana-mana, kayak bakul cilok di Denpasar. Siapa yang sudi baca buku penuh saltik dan saltum? *eh
Inti tugas editor adalah memeriksa naskah. Tapi, jangan berpikir bahwa yang diperiksa hanya kesalahan tik. Tugas atau peran editor lebih dari itu. Apa saja perannya? Simak penjelasan berikut.
Pertama, editor membantu penulis mempercantik naskah. Bagian-bagian yang perlu dipercantik antara lain kalimat-kalimat, momen atau adegan, gap/celah/jarak antaradegan, dan bagian akhir cerita. Lebih detailnya akan dijelaskan di artikel lain.
Kedua, editor membantu penulis menemukan genre yang sesuai. Kadang, ketika saya sedang menyeleksi naskah yang masuk, saya menemukan penulis yang salah milih angkot. Misalnya, si penulis kirim naskah bergenre romance, tapi setelah saya baca, feel-nya kayak lagi baca naskah horor. Meskipun plotnya bagus dan minus saltik, biasanya naskah semacam itu nggak saya loloskan. Gantinya, saya beri si penulis kesempatan untuk mengirim naskah lain dengan genre yang saya sarankan. Tentu naskah terbarunya akan dapat perhatian lebih dari saya ketika proses review nanti.
Tapi, bagaimana jika si penulis tidak tertarik menulis dengan genre yang disarankan? Yasutralahyes. Kan nggak boleh maksa-maksa orang. Jadi, saya akan lirik kembali naskah sebelumnya. Kalau memang punya potensi, saya akan minta si penulis merevisi atau --- apes-apesnya --- menulis ulang naskahnya. Jika hasilnya jauh lebih baik, akan saya loloskan naskahnya. Dengan catatan, asistensi selama proses editing akan lebih kedjam huahahahaha...
Ketiga, dan yang paling saya anggap penting, editor membantu penulis membangun rasa percaya diri terhadap naskahnya. Nggak jarang loh, naskah sudah lolos review, bahkan sudah masuk proses penyuntingan, eh, penulisnya malah semacam menyerah dengan kekedjaman saya. Padahal, tulisannya bagus, buktinya lolos casting. *eh
Ini di luar penyakit malas yang tiada obatnya itu. Biasanya lebih disebabkan rasa pesimis yang menghantui si penulis. Ia tidak yakin dengan hasil kerjanya; apakah pembaca akan suka atau akan muak. Padahal, suka atau tidaknya pembaca sebenarnya sudah terwakili oleh editor.
Kami, para editor, juga paham apa yang diinginkan pembaca. Dan, jika kami menyarankan sesuatu, tentunya sudah melalui berbagai pertimbangan.