Lihat ke Halaman Asli

Menggenggam Hatimu

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13763003471429675995

Kisah lainnya: Cinta Pertama Maura, Terbang ke Kotamu Aku melupakan Maura. Paling tidak, itu yang kulakukan sepanjang dua hari ini, selama aku mengerjakan tugas dari Pak Syarif. Tapi, ketika hari menggelap, kami kembali bersua walau hanya lewat jaringan pribadi. Aku meneleponnya atau sebaliknya – dia lebih suka aku yang menelepon duluan.

Kami belum bisa bertemu. Aku yang memaksa. Aku ingin semua urusan pekerjaanku selesai lebih dulu. Pernah satu kali, Maura memaksa bertemu di sela-sela aku menunggu setumpuk berkas dari kantor. Ya, memang agak lama jedanya karena berkas yang dimaksud masih berada di luar kota. Tapi, aku sudah menduga waktunya tidak akan cukup jika memaksa bertemu.

“Sekarang, atau enggak sama sekali,” katanya. “Lima menit juga nggak papa, Mas. Kita nggak tau, kan, apa nanti malam atau besok kita punya waktu.”

Dan, benar saja. Dua jam tidak berarti apa-apa. Apalagi ternyata Maura datang terlambat karena masih harus menyelesaikan beberapa urusan di kantornya. Ujung-ujungnya, aku yang tidak tega melihat wajah sedihnya karena ternyata lagi, jadwalku setelah itu malah bertambah padat. Belakangan aku baru sadar, kalau saja saat itu Maura tidak memaksa bertemu, mungkin kami benar-benar tidak bisa bertemu. Ya, aku akui, intuisi wanita memang lebih tajam dibanding kaumku.

Sekarang, malam kedua aku berada di pulau ini, saatnya menebas rindu dan menggantinya dengan sentuhan yang nyata. Aku menunggu telepon dari Maura. Ah, mungkin dia juga sedang menunggu telepon dariku. Baiknya bagaimana? Haruskah aku yang menelepon seperti biasanya? Sepertinya harus begitu. Maura pasti akan senang.

“Besok kita ke mana?” tanyaku setelah basa-basi yang nyaris tidak penting soal apakah aku sudah mandi atau makan, atau aku dalam posisi duduk atau berdiri.

“Terserah, Mas,” jawabnya, dengan nada yang… entah, agak lain.

“Pantai?” pancingku.

“Nggak bosen?”

Nah! Mauralah yang mulai bosan, sepertinya.

“Ade maunya ke mana?” Rupanya aku harus ekstra sabar kali ini. Ada yang aneh dengan Maura dan aku tidak tahu apa itu.

“Ehm…. Nggak tau. Bingung.”

Pembicaraan kali ini tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada satu tempat pun yang akan dituju esok. Mungkin satu hal yang terdengar menggembirakan – dan kupikir memang itu yang paling menggembirakan – Maura akan datang kemari, ke hotel tempatku menginap. Ya, benar. Itulah yang terpenting.

Belum jam delapan pagi ketika pintu kamarku diketuk pelan dari luar. Aku sudah bangun, tapi masih malas untuk merapikan diri. Ranjang ini seolah menyuruhku untuk tetap tinggal. Toh, aku tidak perlu ke kantor hari ini. Semua urusan sudah selesai. Semalam aku pun sudah membereskan berkas-berkas yang berpuluh-puluh jumlahnya. Aku hanya perlu menghabiskan waktu sebelum berangkat ke bandara sore nanti.

Pintuku terketuk lagi. Dan, itu memaksaku menyingkap selimut hotel – ini yang paling lembut sejauh aku tidur di banyak hotel di seluruh penjuru negeri ini.

Aku membuka pintu dan… ada wajah itu di sana, tersenyum, tapi terlihat sedikit dipaksakan. Begitu pun aku yang membalas senyumnya. Seharusnya, dia langsung menghambur ke pelukanku, seperti biasanya. Seharusnya, ia mulai mengoceh – banyak bertanya – soal tujuan jalan-jalan kali ini. Seharusnya, ia menagih oleh-oleh yang selalu kujanjikan tiap kali aku datang ke pulau ini – kali ini aku tidak membawa apa-apa karena aku tidak memberitahukan kedatanganku kemari, bukan karena aku pelit atau apalah, euforia akan bertemu dengannya-lah yang membuatku lupa hal itu, yang belakangan kupikir amat tidak masuk akal. Seharusnya, aku bisa menyentuhnya begitu dia menghambur ke pelukanku. Dia, Maura, hanya mematung di tempat yang sama – di hadapanku – dengan senyumnya yang sekarang mulai terlihat… sangat terpaksa.

Dari mana ia tahu kamarku? Karena aku merasa belum pernah memberi tahu nomornya. Ah, ya, pasti Maura bertanya pada pegawai hotel yang berjaga di front office. Maura bukan gadis yang akan bertindak cukup bodoh dengan membiarkan diri diam di lobi sampai aku turun atau sampai aku meneleponnya lebih dulu.

“Belum mandi?”

Dari sekian banyak hal yang kubayangkan seharusnya terjadi dengan kami berdua, dan dia hanya bertanya apakah aku belum mandi?! Ada apa ini? Ingin sekali aku menampar wajahku sendiri, mencari tahu apakah ini masih lanjutan mimpi burukku yang tadi – aku bermimpi tersesat di padang ilalang dengan tiga matahari di langit dan anehnya, aku tidak merasa kepanasan sama sekali, aku bahkan merasa amat kedinginan. Jadi, tolong seseorang teriakkan padaku bahwa ini cuma mimpi, bahwa kehadiran Maura seharusnya seperti biasanya, manis!

“Mas….”

“Ehm… belum. Mas baru bangun.” Semoga Maura tidak mendengar kekecewaan pada nada bicaraku.

Dia menunduk. Sedikit rambutnya ikut rebah, menjuntai ke depan. Maura mendongak lagi sambil membetulkan rambutnya, menyelipkannya kembali ke belakang telinga. Gerakan yang sama setiap kali aku melihatnya. Dan, itu membuatku semakin mendamba tubuhnya di pelukanku. Tapi, aku bisa apa?

“Mau masuk?” Aku menawarkan pilihan – karena nampaknya Maura agak kebingungan – dengan menggeser daun pintu, menciptakan celah yang lebih lebar lagi.

Maura menggumam sambil menggeleng.

“Kenapa?”

Maura maju selangkah, tapi hanya membuatnya cukup dekat dengan ambang pintu. Dia meraih tanganku, aku meremasnya dan merasakan ia melakukan hal yang sama. Sejenak mata Maura terpejam. Beberapa detik saja. Mungkin sedang merasa sensasi yang sama denganku: letupan-letupan konfeti, warna-warni kembang api yang menyertainya, juga gelepar ekor paus yang tiba-tiba menggetarkan sesuatu di dalam tubuh. Dan, semuanya selesai hanya dalam hitungan detik, saat matanya terbuka dan kembali menatapku dengan datar. Aku ingin sekali mengganyang apa pun itu yang membuat Maura dingin seperti ini. Sangat!

“Mas mandi dulu, deh. Biar ade tunggu di lobi. Kalo udah selesai, temui ade di lobi dan kita akan pergi ke sana,” ujarnya sambil menunjuk pantai berpasir putih yang masih termasuk wilayah hotel. Dari lantai tiga, pantai itu terlihat sangat jelas. Air biru dengan ombak bergulung-gulung kecil. Sungguh tempat yang sangat menggiurkan untuk didatangi pagi ini.

Tanpa meminta persetujuanku lebih dulu, Maura sudah menjauh dari ambang pintu. Aku bergerak ke selasar untuk melihat punggungnya menjauh. Entah kenapa, aku sudah merasakan bahwa hari ini akan berjalan sangat lambat, dan sangat… pucat.

Aku tidak mau terikat rasa penasaran terlalu lama. Aku bersiap-siap secepat yang aku bisa. Lalu, meluncur ke lobi hotel dengan kecepatan yang tidak biasa. Sangat cepat, kupikir.

Maura ada di sana, duduk di salah satu sofa di lobi. Tangan kirinya menopang tab sementara jemari kanannya lincah menyentuh di beberapa bagian benda itu. Dia belum menyadari kedatanganku. Dan, aku seolah enggan menggangunya, jadi aku menghentikan langkahku tepat sebelum memasuki area lobi. Melihatnya seperti itu membuatku… damai. Aku bahkan hampir melupakan kepanikan yang tadi mencecarku seperti guru galak yang memarahi muridnya karena lupa mengerjakan PR. Tapi, tetap saja, panik itu masih ada.

Seperti ada tangan-tangan jahil yang mengganggu rambut Maura, berulang kali ia menyelipkan rambut yang menjuntai ke wajahnya. Berulang-ulang, sampai ia sadar kehadiranku. Padahal aku masih saja berdiri di luar lobi, agak terhalang pot besar berisi jepun putih. Aku melangkah saja ke dalam lobi sambil terus memperhatikan Maura yang sibuk memasukkan tab-nya ke tas.

Dan, ah…, akhirnya dia tersenyum. Kepadaku, bukan kepada yang lain. Matanya tertuju padaku, bukan yang lain. Dan, langkahnya menuju ke arahku, bukan ke arah lain. Itu sedikit melegakan.

“Jadi, kita mau ke mana?” Aku memberanikan diri membuka percakapan. Ya, sebelum semuanya kembali menjadi muram… dan pucat.

“Ke pantai. Lupa?” katanya, masih terdengar aneh di telingaku.

“Enggak,” sahutku, mencoba melempar pandangan menggoda, alih-alih merasa tertangkap basah.

Sambil menyusuri setapak dari jalinan paving block – akses yang sengaja dibuat pemilik hotel dari lobi sampai ke pantai – aku mencoba membaca gerak tubuh Maura. Aku yakin melihat ‘permintaan’ akan sebuah sentuhan, lagi. Tapi, sedetik kemudian, seolah tubuh Maura berteriak “Jangan dekati aku lebih dari ini!”. Aku menyerah. Aku tidak bisa membaca apa-apa kali ini. Maura terlalu… tertutup.

“Kerjaannya udah selesai, Mas?”

Aku nyaris terlonjak, dan tersandung salah satu blok yang agak mencuat dari jalinannya. Itu memalukan, seolah-olah aku tidak pernah siap, untuk apa pun.

“Udah,” jawabku, berusaha tak tergagap. “Udah beres semua.”

“Jam berapa take off?”

“Jam enam.”

Maura melihat jam tangannya, lalu menggumam, “Masih cukup.”

“Masih cukup untuk apa?” tanyaku saat akhirnya kami berdua sampai ke pantai.

Maura tidak langsung menjawab. Dia malah melepas sandalnya dan menggamit talinya dengan jemari tangan kiri. “Kita duduk di bawah payung besar itu, yuk,” ajaknya, tanpa mengacuhkan pertanyaanku.

Arrrgh!!! Aku seperti remaja konyol yang menunggu-nunggu momen ciuman pertama dengan gadis yang baru saja jadi pacarku. Bahkan pasanganku sendiri – pasanganku yang sah – tidak pernah membuatku seperti ini. Tapi, Maura amat sangat bisa!

Maura mulai berjalan lagi, tapi tanganku bertindak lebih cepat dari otakku. Sampai aku sadar, ternyata Maura masih diam karena aku menahan tangannya.

“Jawab dulu pertanyaan mas,” pintaku.

Maura tersenyum, lalu menjatuhkan sandalnya. “Paling nggak,” katanya, “kita punya – mungkin – empat jam penuh sebelum mas harus berangkat ke bandara, meninggalkan pulau ini, meninggalkan… aku.” Kemudian, Maura menempelkan bibirnya ke bibirku, manis.

next

@sekarmayz

Sumber gambar, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline