Lihat ke Halaman Asli

Orkes Patah Hati

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1384563526873296205

Orkes patah hati mulai bergerilya di otakku, memainkan semacam lagu yang bisa menimbulkan mimisan hebat di telinga. Kok telinga? Iya! Karena hidungku sudah buntu oleh darah yang selalu mengucur ketika orkes itu mulai memamerkan nada pertama. Aku… setengah hidup menghilangkan orkes patah hati itu dari hidupku. Tapi ternyata, aku bahkan kalah sebelum genderang perang selesai ditabuh. Sial!

Ini bukan malam biasa. Ehm…. Baiklah, ini memang malam yang seolah sama sepanjang aku hidup. Setelah aku menamatkan rutinitasku, aku duduk manis di sofa sambil menimang gadget. Tujuan utama; menebar pesona sampai ke sudut tersempit dunia maya. Hahaha…. Kenapa? Iri padaku? Jangan, ah. Nanti aku jadi besar kepala. Padahal aku ini niat cerita soal orkes patah hati itu.

Aku tidak punya pacar, dan tidak penting juga untuk punya satu di hidupku. Aku punya cukup banyak teman pria yang bisa jadi ‘pacar kadang-kadang’. Maksudnya, ketika aku ingin dekat dengan salah satu dari mereka, ya sudah, tinggal aku dekati saja. Aku akan lebih banyak mengiriminya pesan di chat box, atau melempar stiker di status Linenya, atau mencantumkan namanya di status Facebookku. Dan mereka tidak pernah protes karena mereka tahu siapa aku. Really enjoy that moment. Hahahaha….

Kedinamisan datang ketika tiba-tiba seorang cewek menyerangku lewat chat box, mengataiku sundal, dan selanjutnya memblokir akunku. Hihihi…. Cewek itu jelas tidak tahu, aku bahkan menikmati perlakuan itu.

Pernah dengar istilah social disorder? Aku baru sekali ini membacanya dari sebuah buku. Tepatnya, sebuah novel. Dan, okelah, aku mengklaim diriku bermasalah – setelah membaca novel itu, tentunya. Sebab… aku tidak pernah nyata di dunia ini. Seseorang selalu memandangku dengan sebelah mata, menganggapku tak lebih dari makhluk yang seharusnya dirawat dengan perhatian ekstra agar tidak lekas mati. Padahal aku kuat. Aku bisa berdiri dengan dua kakiku. Namun, pada akhirnya, aku menyerah dan membiarkan manusia itu mengatur hidupku.

Aku, perempuan bermata coklat, berambut hitam dengan potongan pendek tak berjudul, dan lebih banyak meminum kopi daripada air tak berwarna. Aku kuliah, bekerja paruh waktu, dan kadang bereksperimen dengan kalimat-kalimat tidak normal dalam sebuah tulisan. Tapi, seseorang merasa perlu mengatur hidupku!

Dan kemudian, orkes itu memainkan lagi sebuah nyanyian gila soal patah hati. Suara-suara itu memang tidak membuatku lantas meregang nyawa begitu saja. Tapi, apa yang aku rasakan sekarang, adalah semacam kondisi di mana oksigen akan segera habis dari paru-paruku.

***

“Sampai kapan kamu ngebiarin mie ayamnya diincer lalat?”

Aku kaget. Dan aku menjatuhkan sendokku. Itu… sendok terakhir, karena si penjual mie ayam itu sibuk mencuci semua mangkok dan sendok di belakang warung – warungnya sudah mau tutup, dan aku serta cowok di depanku ini adalah pembeli terakhir. Terpaksa, aku merebut sendok dari cowok di depanku dan menukarnya dengan sepasang sumpit butut berbahan plastik.

Sorry, Jim. Aku nggak bisa makan dengan benda itu. Dan Jimmy paham apa maksudku.

“Kamu sakit?” tanya Jimmy.

Ah, kenapa semua orang selalu menanyakan itu? Padahal mereka sudah tahu, aku tidak akan pernah mau menjawabnya.

“Kalau aku ngabisin mie ayamnya, terus aku nambah seporsi lagi, apa kamu bisa berenti nanya itu lagi?”

“Tapi, ini dua porsi terakhir, Ay,” sahut Jimmy, “dan bukan hal haram kalo aku nanya itu ke kamu. Kamu pacarku dan….”

“Ralat!” potongku. “Aku bukan pacarmu!”

Jimmy menghela napas

“Oke. Kamu bukan pacarku,” kata Jimmy, yang aku tahu pasti, dia terpaksa mengatakan hal itu. “Kita hanya dekat. Hubungan kita – seperti kata-katamu yang terakhir – tidak berjudul. Fine. Aku terima itu. Tapi, Ay, aku tetap khawatir sama kamu.”

Kata-kata Jimmy membuatku makin tidak berselera makan. Tapi, lambungku berontak. Rasanya aku bahkan sanggup menghabiskan bagian Jimmy yang sebetulnya sama-sama belum tersentuh. Dengan segala kekuatan, aku mengeyampingkan ego dan mulai melahap makanan di depanku. Adrenalin membuat lidahku tidak merasakan pedas sama sekali. Padahal tiga sendok sambal harusnya bisa membuatku berkeringat.

“Ay, jangan kalap.” Suara Jimmy tetap lembut, meskipun aku tahu, sebenarnya ia sedang marah padaku. “Pelan-pelan aja makannya, biar nggak keselek.”

Aku hampir menghabiskan makananku hanya dalam waktu beberapa menit saja. Dan menit berikutnya, bagian Jimmy mulai kujajah. Semuanya selesai dalam waktu – mungkin – kurang dari lima belas menit. Dan selama itu, entah sudah berapa kali Jimmy menarik napas panjang. Aku tidak peduli.

“Jimmy.” Aku mendorong dua mangkuk itu menjauh dari hadapanku. “Apa perlu aku bikin artikel di majalah kampus yang isinya pernyataan kalo kita udah putus?”

Jimmy menatapku dengan pandangan penuh selidik. Seolah-olah dia sedang mengupas cangkangku satu persatu. Sial baginya mungkin, aku punya banyak cangkang. Jadi tatapannya itu tidak berpengaruh besar padaku. Bahkan, aku balas menatapnya. Aku kupas satu persatu lapisannya – yang membuatku seperti sedang mengupas bawang merah; makin dalam, makin membuat mataku pedih.

“Aku sekarang sama Rey, Jim. Kenapa kamu nggak bisa telan itu bulat-bulat?”

“Karena aku masih sayang kamu, Ay. Dan aku tahu, kamu sama Rey nggak lebih cuma main-main. Rey punya pacar. Mereka udah tunangan. Kenapa kamu mendadak jadi cewek nggak berotak sih, Ay? Berani banget kamu main api gitu?!”

Bicara soal api, aku merasa ada yang menyalakan api di dekat kedua telingaku, juga di sekitar hidung dan mataku. Otot-ototku mengejang dan rahangku kaku. Itu semua adalah efek aku menahan emosiku. Jika tidak, wajah Jimmy pasti sudah menerima tinjuku. Dan detik berikutnya, aku hanya bisa menunduk, membiarkan tangan Jimmy mendarat lembut di kepalaku.

Di antara isakan yang kutahan dengan kekuatan penuh, aku berkata, “Seharusnya kamu udah pergi dari hatiku, Jim. Aku udah susah payah membersihkan ruangan itu, tapi kamu tetap nggak mau pindah. Ada apa, Jim? Aku bukan cewek baik, aku bukan cewek yang bisa kamu jadikan pendamping. Aku cuma cewek gila yang nggak mau berkomitmen apa-apa. Aku cuma bisa menikmati hubungan jangka pendek. Dan aku rasa, aku bisa mati jika harus hidup dengan orang yang sama, dalam waktu yang lama. Aku nggak sanggup. Otakku menuntut kebebasan tak berbatas, Jim. Dan itu nggak akan bisa aku dapetin kalo kamu terus-terusan bersikap seperti itu. Kamu… harus lepasin aku, Jim. Atau kamu akan sakit sendiri karena tau, aku nggak akan pernah kembali memasukkan kamu ke dalam hidupku.”

Jimmy tidak bereaksi apa-apa. Semenit, dua menit, cowok itu hanya menatapku. Lalu, dia berdiri, mengusap kepalaku, dan berkata, “Jangan lupa besok malam ya. Aku jemput kamu sama Mama buat dinner di rumah.”

Dan sudah, begitu saja. Aku meletakkan kepalaku di meja sambil mencoba mengabaikan orkes patah hati yang kembali memainkan nada-nada gila. Ya, para pemainnya hampir berhasil membuatku gila sungguhan.

@sekarmayz

Gambar dari sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline