Lihat ke Halaman Asli

Kisah Al dan Maya - Chapter Ten

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13423739781269166312

previous chapter

Tidak ada yang suka dengan keheningan absolut. Apalagi jika keheningan itu menghasilkan sebuah ketidaknyamanan. Tidak ada. Tapi ini nyata terjadi di dalam mobil Al. Hanya deru mesin yang mengusai suasana antara Al dan Maya. Maya masih kesal dengan sikap Al, sedangkan Al sendiri masih berkutat dengan perasaan bersalah di hatinya. Al tahu, dan ia sangat mengerti, seharusnya ia tidak mengabaikan Maya di butik itu. Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya tak dapat diulang. Sekarang yang bisa Al lakukan adalah berusaha mendapat kata maaf dari Maya.

“Maya….”

Satu kali, dan Maya masih bergeming.

“Maya.” Kali ini suara Al lebih tegas. Namun Maya masih malas menanggapinya.

Come on, Maya. Speak up.” Al berkeringat, padahal udara di dalam mobil sangat sejuk. “Please, Maya….”

“Entahlah, Al. Kau membuatku kehabisan kata-kata.”

I’m not a romantic person. All I know is I’ve done something wrong tonight. And I’m so sorry. I really am.

“Bicaralah dengan kata-kata yang kumengerti, Al.” Maya sedikit memiringkan posisi duduknya hingga ia bisa melihat wajah Al. Ia bukannya tidak mengerti dengan bahasa yang Al gunakan. Toh ia mendapat nilai yang tidak buruk untuk pelajaran itu ketika SMA. Maya hanya ingin Al menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi di butik. “Aku serius,” tegasnya.

Sunyi lagi. Al diam bukan karena ia tak sanggup menjawab. Justru ia sedang menyusun kata-kata untuk mengutarakan maksud hatinya.

“Aku memang salah,” kata Al, membuka lagi percakapan di antara mereka. “Seharusnya aku tidak mengabaikanmu. Itu… terjadi begitu saja. Aku tidak mengerti apa yang aku pikirkan saat itu. Yang aku tahu, aku senang bertemu lagi dengan Dita. Kami memang dekat.” Al diam. “Mencintaimu… memang butuh usaha. Dan malam ini aku tidak berusaha sepenuh hati. Aku sadar, belajar mencintai seseorang dengan tulus, ternyata tidak lebih mudah dibanding mengurai benang kusut.”

“Lalu? Aku masih belum memahami kalimatmu.”

“Intinya… aku minta maaf.”

Maya menghela napas, lalu membetulkan posisi duduknya. “Buatku, memaafkanmu sangatlah mudah, Al. Tapi apa kau sanggup untuk tidak mengulanginya lagi?”

“Aku berusaha.”

Maya menggeleng. “Itu belum bisa membuktikan apa-apa. Apalagi jika kau tidak menyejajarkan posisiku dengan dirimu. Ingat, Al. Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Kau tidak bisa selalu menganggapku sebagai gadis polos, miskin, dan tidak berpendidikan. Oke. Aku memang tidak pernah mengenal bangku kuliah. Tapi aku tidak buta, Al! Lagipula, ini tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikan. Ini masalah hati dan perasaan. Aku memang baru sekali ini mengenal manusia sepertimu. Tapi aku cepat belajar darimu. Satu yang bisa aku simpulkan. Orang-orang macam kalian memang egois!”

“Hei! Kau tidak bisa berkata seperti itu. Jangan samakan aku dengan orang lain, Maya!”

Seperti belum cukup membuat suasana lebih tidak nyaman lagi, Maya mulai bicara lagi. “Aku penasaran. Selama kau menjalin hubungan dengan tunanganmu, apa kau pernah berbuat seperti ini? Mengacau saat kencan. Ha?!”

Tiba-tiba Al membanting setir begitu mendapat kesempatan untuk menepi. Kini Vios hitam itu terparkir di halaman sebuah convenience store yang buka 24 jam. Al menarik rem tangan, lalu diam. Napasnya setengah memburu. Pelipisnya basah oleh keringat. Tatapan Al lurus, menyapu halaman parkir yang hampir kosong.

“Aku minta tolong padamu, Maya,” Al bersuara pelan di tengah napasnya yang masih tak beraturan. “Tolong jangan kau ungkit lagi masa laluku.” Al diam sejenak. “Dan jika kau masih ingin mengatakan sesuatu, kita selesaikan di sini. Aku tidak ingin… membahayakan nyawa kita berdua.”

Al memalingkan wajahnya. Ia melihat Maya menunduk. Ada isakan samar yang menyusup ke pendengaran Al. Ia tahu, Maya sedang meredam tangisnya.

“Maya….”

“Antarkan aku pulang, Al.”

Al menghela napas panjang. Tangan kirinya menggapai tubuh Maya dan merengkuhnya perlahan. Ia membelai rambut Maya dengan lembut. “Ingin aku sujudkan di kakimu rasa bersalahku, untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan lakukan apapun untuk mendapatkan maaf darimu dan mengembalikan rasa percayamu terhadapku. Aku benar-benar menyesal, Maya. Dan ini cukup membuatku mengerti bahwa cinta membutuhkan perhatian.

Makin berurailah air mata Maya. Ia tahu, lelakinya memang benar-benar menyesal. Yang ingin ia lakukan malam ini adalah lebih menenggelamkan diri ke dalam pelukan Al. Ia ingin Al tercipta hanya untuk dirinya. Bukan untuk orang lain.

“Aku tahu, tak akan mudah bagimu untuk memberi maaf padaku,” kata Al lagi. “Aku sangat mengerti itu. Dan aku tidak akan memaksa. Aku sudah membuatmu kecewa malam ini. Tapi paling tidak, malam ini aku belajar bagaimana membuatmu bicara banyak tentangku.”

“Al….”

“Aku tahu,” potong Al. “Kau ingin pulang.”

“Tidak. Bukan itu.”

“Lalu?!”

“Aku menarik permintaanku. Aku tidak ingin pulang.”

Dahi Al berkerut-kerut. “Maksudmu?”

“Entah. Aku hanya ingin… seperti ini. Sampai pagi. Sampai aku benar-benar terlelap.”

Al menarik napas panjang lagi. “Tapi aku sudah berjanji pada ayahmu, Maya. Aku harus mengantarmu pulang.”

Maya mendongak. Kini ia hampir tak berjarak dengan wajah Al. Maya memejamkan mata dan ia merasa ada benda lembut menyentuh bibirnya. Basah dan menjijikkan, pikir Maya. Namun ia merasa ada yang lain. Seolah kini ia berjalan di lapisan pelangi yang transparan dan lembut. Seolah ada aroma bunga berbagai rupa yang kini memenuhi tiap ruang di paru-parunya. Dan ia pikir, ia sedang bermimpi terselimuti rasa hangat yang luar biasa. Kehangatan itu, yang tiba-tiba menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Maya menikmati semuanya.

Lain halnya dengan Al. Ini bukan yang pertama kalinya ia mencium seorang gadis. Ia kerap melakukannya dengan Maya. Tapi kali ini Al pun merasa ada yang lain. Katakan saja, seperti menaiki tanjakan jet coaster secara perlahan. Lama sekali baru mencapai puncak tanjakan itu. Dan setelahnya, tubuh Al serasa dihempaskan begitu saja ke selembar permadani tebal nan lembut. Ia tenggelam dalam kelembutan itu. Dan ia sangat berharap kelembutan itu tidak menghilang dengan cepat.

Keduanya menjauh pelan-pelan. Sama-sama kikuk setelah menyadari apa yang baru saja mereka lakukan.

“Maafkan aku. Aku telah lancang.” Maya menunduk malu.

“Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf,” sahut Al.

Tanpa meminta persetujuan Maya, Al menjalankan lagi mobilnya menembus keramaian akhir pekan yang kadang menyesakkan. Sisa dari perjalanan ini, mereka lalui dengan kebisuan yang meraja.

Maya memasuki rumahnya. Ia tak menyangka, ternyata ayahnya tengah duduk di kursi tamu. Maya hampir saja menjatuhkan tas belanjaannya.

“Ayah belum tidur? Ini kan sudah hampir jam sebelas.” Maya tahu, bukan kebiasaan ayahnya terjaga sampai hampir larut. Pasti ada maksudnya pria tua itu terjaga.

“Ayah menunggu kau pulang. Ayah… khawatir.”

Maya terkejut. Dalam hatinya ia mengira-ngira, apa ayahnya tahu soal pertengkarannya dengan Al malam ini. Itu tidak mungkin. Jadi pasti ada hal lain yang hendak dikatakan ayahnya.

“Maya baik-baik saja, Ayah. Ayah tidak perlu khawatir.”

Pak Dahlan bangkit dari duduknya. Ia mendekati Maya, gadis yang ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri.

“Bukan itu yang ayah maksud, Nak. Ada hal lain.” Pak Dahlan diam sebentar, seolah ia ragu mengeluarkan kata-kata. “Ini soal penerimaan keluarga Al terhadap dirimu. Ayah… khawatir soal itu.”

Maya menghela napas. Ada sedikit kelegaan. “Ayah. Maya bukannya tidak pernah berpikir soal itu. Beberapa kali terlintas di otak Maya soal ketakutan itu. Tapi Al belum pernah membawaku menemui keluarganya. Jadi apa tidak sebaiknya kita singkirkan dulu kekhawatiran ayah? Lagipula…. Entahlah, Ayah…. Kami belum yakin dengan apa yang kami jalani saat ini.”

Raut Dahlan berubah. “Lho…. Memangnya ada apa?”

Maya tersenyum. Ia menyembunyikan kegundahannya. “Tidak ada apa-apa, Ayah. Semuanya baik-baik saja,” sahut Maya cepat. “Maya ke kamar dulu. Mau istirahat.”

Maya meninggalkan ayahnya yang masih mematung dengan segala tanya. Pria tua itu yakin, ada sesuatu yang telah terjadi dengan putrinya.

Di kamar, setelah berganti pakaian, Maya tidak bisa memejamkan mata. Tubuhnya terbaring, tapi pikirannya belum mau diajak terlelap. Padahal ini sudah hampir tengah malam. Ia bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian. Ia berdiri dan melihat bayangan dirinya pada cermin yang menempel di lemari itu. Wajahnya yang bulat telur nampak sedikit pucat. Maya menyentuh bibirnya sendiri lalu mata terpejam. Ia sedang mengingat lagi rasa itu. Ini yang pertama untukku. Akankah aku merasakannya lagi?

Maya membuka matanya lagi. Kini sebuah ketakutan menjalar dan menggurita di hatinya. Aku dan Al sangat berbeda. Dunia kami tidak sama. Aku ragu kami bisa bersatu. Berulang-ulang kalimat itu mengganyut manja di benak Maya. Membuat Maya makin tak bisa memejamkan mata.

Drrrttttt…. Drrrrrttt….

Maya terlonjak. Ponselnya bergetar. Ada pesan singkat masuk. Segera ia sambar ponselnya yang tergeletak di meja.

Maaf aku mengganggu tidurmu. Besok aku akan menjemputmu jam delapan pagi. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Bawalah beberapa potong pakaian. Mungkin kita akan menginap beberapa hari di tempat itu. - Al -

Menginap?! Di mana? Untuk apa? Makin banyak tanya yang memenuhi otak Maya. Dan itu membuat matanya makin tak bisa terpejam.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline