Lihat ke Halaman Asli

A Walk To Remember #2

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asti melangkahkan kakinya dengan hati – hati di antara nisan – nisan yang terjejer rapi. Langkahnya mantap seolah ia sering melewati tempat itu. Padahal baru saja minggu lalu ia untuk pertama kalinya mengunjungi tempat itu.

Langkahnya terhenti di depan sebuah nisan kayu yang sudah agak lapuk. Nama yang tertera di nisan itu sudah pudar, namun masih bisa terbaca jika dilihat dari dekat. Tanah di pusara itu sudah kembali ditumbuhi rumput liar. Padahal minggu lalu Asti sempat membersihkan rerumputan yang tumbuh tak beraturan itu. Ia berjongkok di hadapan makam itu dan mulai mencabuti rumput – rumput liar.

Sekuntum kembang jepun berwarna putih jatuh tepat di atas pusara yang ada di hadapan Asti. Ia mengambil bunga itu dan mengamatinya sejenak.

“Apakah kau tahu kalau aku akan datang?” tanya Asti di dalam hatinya. “Apakah kau ingin memberi tahu aku tentang kondisimu di sana?” lanjutnya lagi. “Kau tahu?! Aku ingin sekali bertemu denganmu, Ray.”

Dua tahun yang lalu…

Sudah dua jam lebih Asti menunggu di sebuah warung tenda di jalan Teuku Umar. Dan sudah dua gelas coklat hangat yang ia habiskan selama ia menunggu. Ia pun mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.

“Doni! Sebenarnya kau akan datang kemari atau tidak? Aku sudah dua jam lebih menunggumu di sini. Satu jam yang lalu aku meneleponmu dan kau bilang akan datang setelah urusan dengan ibumu selesai. Sekarang apa lagi alasanmu? Jangan jadikan ibumu sebagai tameng. Aku tahu sebenarnya kau sedang tidak bersama ibumu saat ini.”

Asti berbicara dengan suara lantang dan tidak peduli orang – orang di sekitarnya menguping pembicaraannya. Saat itu di warung sedang ramai orang. Hampir seluruh meja terisi dan ada seorang pengamen juga yang sedang beraksi di sana. Tapi sekali lagi, Asti tidak peduli. Menurutnya, kali ini Doni sudah keterlaluan. Doni selalu saja membuatnya menunggu. Ada saja alasan Doni yang membuat Asti bersedia untuk menunggu. Tapi tidak untuk kali ini.

“Lebih baik kau cepat kemari, atau aku yang akan ke rumahmu dan menceritakan kepada keluargamu semua hal busuk tentang dirimu.”

Asti menutup teleponnya dan beranjak pergi. Tak lupa ia meninggalkan selembar lima puluh ribuan di meja yang baru saja ia pakai. Ia pergi ke sebuah mini market tak jauh dari lokasi warung tenda. Ia masuk ke dalam dan membeli sebotol minuman dingin. Lalu ia duduk di sebuah bangku panjang yang memang sengaja disediakan oleh pengelola mini market.

Suhu udara di Denpasar malam ini sedang dingin. Namun dinginnya seperti tak mampu mengalahkan amarah yang masih ada di hati Asti. Sebenarnya ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Tapi tidak menyangka akan secepat ini.

Asti dan Doni dijodohkan oleh orang tua masing – masing. Asti pun setuju saja. Karena pada awalnya, Doni memperlihatkan sikap yang baik kepada Asti. Mungkin bagi kebanyakan wanita, Doni merupakan sosok pria yang nyaris sempurna. Doni memiliki pekerjaan yang mapan dan sempat membeberkan rencana – rencananya jika nanti dirinya jadi menikah dengan Asti. Namun, sedikit demi sedikit, keburukan Doni mulai terungkap. Doni memiliki kebiasaan buruk berjudi dan bersenang – senang dengan wanita malam. Bukan sekedar wanita malam biasa, tapi Doni hanya menginginkan yang masih di bawah umur. Asti memang tidak pernah memergokinya secara langsung. Tapi seorang teman Asti pernah memberikan selembar foto Doni yang sedang bermesraan dengan seorang gadis muda di sebuah klub malam. Hal ini benar – benar membuat Asti ingin muntah. Dan yang lebih parah, keluarga Doni tidak tahu tentang hal ini. Asti pun tidak bisa memberitahu keluarga Doni karena mereka pasti tidak akan percaya. Karena di mata keluarganya, Doni adalah pria baik – baik.

Memikirkannya saja sudah membuat kepala Asti semakin sakit. Ia kembali menyambar botol minumannya dan meneguk habis isinya.

“Waduh…. Kehausan ya, Mbak?! Kok minumnya langsung habis sebotol gitu.”

Asti mencari sumber suara itu dan ternyata pengamen tadi sudah duduk di sampingnya.

“Kau tidak usah ikut campur!” jawab Asti dengan ketus.

“Iya, deh. Maaf. Eh, tapi…, boleh kenalan, nggak?” tanya si pengamen.

Asti tidak menjawab pertanyaan pengamen itu dan langsung pergi menaiki mobilnya.

Siang itu, Asti sedang bersama dengan seorang teman berbelanja di pertokoan di daerah Kuta. Ia sedang sibuk memilih baju ketika seseorang menyenggolnya dari belakang. Kondisi toko saat itu sedang ramai pengunjung, sehingga agak berdesakan. Namun, Asti tidak sadar kalau dompetnya terjatuh dan ada yang memungutnya. Ketika sampai di meja kasir, ia baru sadar bahwa dompetnya hilang.

“Win, kau lihat dompetku?”

“Bukannya sedari tadi kau pegang dompetmu?” Wini malah balik bertanya.

“Aduh, bagaimana ini? Boleh aku pinjam uangmu, Win? Nanti aku ganti. Aku masih punya cadangan di rumah.”

“Ya, sudah. Kau bisa pakai uangku dulu,” ujar Wini.

Setelah urusan di kasir selesai, Asti dan Wini keluar dari toko itu. Baru beberapa langkah, Asti merasa bahunya di tepuk oleh seseorang dari belakang. Ia menengok ke belakang dan terkejut. Ternyata seorang pria menyodorkan dompet miliknya.

“Aku harap kau tidak salah sangka dulu,” ujar orang itu. “Aku tidak mengambil dompetmu. Dompetmu terjatuh dan kebetulan aku melihat siapa yang mengambilnya.”

“Kau bohong!” kata Asti.

“Silahkan percaya atau tidak. Tapi aku berhasil mendapatkan dompetmu secara utuh dari pencopet itu. Kau boleh periksa isinya. Aku tidak mengambil satu rupiah pun dari dompetmu.”

Seolah dikomando oleh perkataan pria itu, Asti dengan cepat memeriksa isi dompetnya. Dan ternyata isinya masih lengkap.

“Baiklah. Aku minta maaf karena telah menuduhmu. Ambillah ini,” ujar Asti sambil menyodorkan selembar seratus ribuan kepada orang di hadapannya.

“Oh, tidak perlu seperti itu. Aku tidak mengharapkan uangmu.”

“Lalu apa yang kau inginkan? Aku tahu kau pasti menginginkan sesuatu.”

Orang itu tersenyum.

“Aku hanya ingin tahu namamu. Sebab malam itu, di depan mini market tempat kau duduk menghabiskan sebotol minuman, aku belum berhasil mengajakmu berkenalan.”

Asti bingung dengan perkataan orang di hadapannya. Namun setelah melihat lebih teliti lagi wajah orang itu, Asti baru sadar kalau yang di hadapannya saat ini adalah seorang pengamen yang ia lihat di warung tenda beberapa waktu yang lalu.

“Kau… pengamen yang Teuku Umar itu kan?!” tanya Asti.

“Iya. Namaku Ray. Kau?”

“Kau tidak perlu tahu namaku. Terima kasih karena telah mengembalikan dompetku. Ayo, Win.”

Asti mengajak Wini pergi dari tempat itu.

“Walaupun kau tidak memberikan namamu, tapi aku sudah mengetahuinya…, Asti,” kata Ray setengah berteriak.

Malam itu, Asti bekerja lembur. Sebenarnya bukan pekerjaan lembur biasa. Atasannya meminta dirinya untuk ikut meeting dengan beberapa investor baru. Perusahaan tempat Asti bekerja sedang mengerjakan proyek pembangunan baru, sehingga perlu diadakan meeting untuk menyakinkan para investor yang akan menanamkan modalnya.

Meeting berjalan lancar dan para investor itu setuju untuk menanamkan uang mereka ke sebuah proyek kondotel baru di daerah Jimbaran. Asti pun bersiap untuk pulang. Ia membereskan berkas – berkas yang masih tercecer di meja rapat. Semua orang sudah keluar dari ruangan yang dipakai meeting. Namun ada satu orang yang masih duduk di kursinya. Orang itu adalah salah satu investor tadi.

“Lho, Pak Raymond. Anda tidak pulang? Ini sudah jam sebelas malam. Apa istri Anda tidak mencari nanti?” tanya Asti dengan ramah.

Orang yang bernama Raymond itu tertawa.

“Aku belum berkeluarga.”

“Oh, maaf. Saya pikir….”

“Tidak apa – apa. Memang banyak yang mengira aku sudah berkeluarga jika berpenampilan seperti ini. Tapi kalau sudah berganti dengan pakaian kasual, mungkin kau akan mengira aku sebaya denganmu.”

“Ah, Pak Raymond bisa saja.”

“Apa kau tidak kehilangan dompetmu lagi, Asti?”

Asti terkejut mendengar pertanyaan itu.

“Da… dari… mana Anda tahu tentang hal itu?”

“Bukankah aku yang memberikan dompet itu kepadamu?! Apa kau lupa?”

Asti semakin terkejut dengan perkataan pria itu.

“Siapa Anda sebenarnya?”

“Kau sudah tahu namaku, kan?! Kau sendiri tadi yang mengucapkannya.”

“Itu… tidak mungkin. Tidak mungkin kau orang yang sama.”

Asti cepat – cepat membereskan seluruh berkas yang ada di meja rapat lalu dengan segera pergi meninggalkan ruangan itu.

Ray pun seolah tak ingin kehilangan jejak Asti, ia setengah berlari untuk mengejar gadis itu. Bukan maksudnya untuk menipu Asti, hanya saja Asti belum tahu siapa ia yang sebenarnya.

“Asti. Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya.”

“Tidak perlu kau lakukan itu. Aku tahu, kau berpura – pura menjadi seorang pengamen hanya untuk menarik perhatianku. Hei! Apa kau tidak punya pekerjaan lain selain menggangguku? Kau cari saja wanita lain yang bisa kau kelabuhi. Aku tidak ingin berhubungan dengan dirimu selain urusan kantor. Jadi jangan coba – coba mempermainkan aku!”

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi mungkin perlu kau ingat. Aku tidak pernah berniat mempermainkan dirimu. Dua pertemuan kita yang lalu benar – benar tidak disengaja. Aku tidak pernah membuntutimu. Itu saja yang ingin ku katakan. Silahkan kau percaya atau tidak.”

Satu bulan sudah Asti tidak pernah lagi melihat Ray. Walaupun ia tahu, Ray masih tetap menjadi investor di perusahaan tempatnya bekerja. Tapi tak pernah sekali pun ia muncul di kantor Asti jika para investor lainnya ada meeting dengan para direksi. Asti jadi berpikir, ternyata Ray benar – benar menepati janjinya untuk tidak mengganggunya. Tapi bukan berarti tidak boleh bertemu sama sekali.

“Eh…, Asti,” panggil Rina, salah seorang rekan kerja Asti.

“Ya?”

“Kau mau dengar sesuatu?”

“Ada apa?”

“Tadi aku tidak sengaja menguping pembicaraan pak direktur dan wakil direktur. Ini soal Pak Raymond yang sempat kau ceritakan padaku waktu itu.”

“Hmm…. Ada apa memangnya?”

“Ternyata Pak Raymond mengalami kecelakaan parah minggu lalu. Kejadiannya di bypass Ida Bagus Mantra.”

“Hah?! Yang benar?!”

“Dan…. Pak Raymond tidak selamat dalam kecelakaan itu.”

Hari ini…

Asti masih memandangi kembang jepun yang ia pegang. Entah sudah berapa lama ia melakukan hal itu. Kemudian ia meletakkan bunga itu tepat di bawah nisan Ray.

Ray yang malang, pikir Asti. Ia baru mengetahui segalanya tentang Ray dari seorang rekan mengamen Ray. Ray memang berasal dari keluarga kaya raya. Hanya saja Ray tidak ingin mengumbar hal itu kepada orang lain. Dan ketika Ray meninggal, ternyata Ray sudah mempersiapkan sebuah surat wasiat. Isinya bahwa seluruh asset milik Ray akan dibagi rata ke sejumlah panti asuhan dan rumah singgah di Denpasar. Ray hanya minta uang miliknya disisakan sedikit untuk biaya pemakaman sederhana. Jadilah hanya nisan kayu yang menghias pusara Ray.

“Ray…. Andaikan di hadapanku ada sebuah mesin waktu. Pasti…, tanpa pikir panjang, aku akan memakainya. Untuk mengulang lagi kejadian itu, ketika kau mengajakku berkenalan untuk pertama kalinya. Hmm…, Ray…. Semoga kau tenang di sana. Tunggu aku di sana, ya….”

gambar nyomot dari google

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline