Lihat ke Halaman Asli

Jepun Rangkat - Part 3 [ECR 4]

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328950233635601948

kisah sebelumnya part 2

Citra segera berlalu dari hadapan Sekar. Ia biarkan kakaknya berpikir tentang semua yang baru saja ia katakan. Ia merasa kakaknya memang seorang yang lemah, tak mau berusaha sedikit lebih keras untuk mendapatkan cintanya kembali. Mungkin saja, kakaknya berpikiran bahwa wanita tidak seharusnya agresif. Tapi ia berpikiran lain. Ia menganggap kakaknya tak pernah salah. Jaka lah yang telah salah karena lebih memilih untuk mengejar gadis lain.

Sejenak kemudian, jemari Citra telah lincah mengetik pesan singkat untuk Jaka.

“Aku tak tahu hatimu itu terbuat dari apa. Tapi bagiku, seorang pria yang baik, tak pernah menyakiti wanitanya lebih dari sekali dengan alasan yang sama. Jika kau memang menginginkan kakakku, maka kau harus konsisten dengan apa yang kau ucapkan di masa lalu.”

Beberapa menit kemudian, ponsel Citra berbunyi. Ada pesan singkat yang masuk.

“Maaf…. Aku memang salah. Tapi tidak bisakah kalian memberiku waktu? Aku harus lebih banyak berpikir. Aku tidak ingin apa yang aku putuskan saat ini menjadi segumpal penyesalan si kemudian hari. Tolonglah mengerti aku, Citra.”

Lalu Citra pun membalas lagi.

“Katakan itu kepada kakakku sekarang. Face to face. Aku tidak akan membantumu lagi.”

***

Sore itu, setelah mendapat nasehat dari adiknya, Sekar masih belum beranjak pergi ke Taman Rangkat. Tapi sudah ada sedikit perubahan. Ia tak lagi berdiam di kamarnya dan menangis semalaman. Ia memulai kembali apa yang sudah menjadi pekerjaannya selama tinggal di Rangkat, membuat kripik. Dan sebagai pemanasan setelah satu minggu tidak mengolah kripik, sore ini ia akan membuat kripik singkong.

Malam pukul sembilan lewat sedikit, pekerjaan Sekar sudah selesai. Ia belum mengantuk dan tidak ingin segera pergi tidur. Ia ingin keluar sejenak untuk mencari udara segar.

Citra belum pulang dari rumah salah seorang muridnya. Jadi Sekar mengunci pintunya dan menaruh anak kuncinya di tempat yang sudah ia sepakati bersama Citra.

Sekar melangkah tanpa tujuan yang pasti malam ini. Ia hanya mengikuti kemana hati dan kaki akan membawanya. Dan tibalah ia di depan gerbang Taman Rangkat. Hatinya berdesir pelan. Ada sesuatu… ah, tidak…. Ada seseorang di sana. Ia merasakannya, bahkan ketika wujud tak beradu pandang dan jarak terbentang jauh. Ia pun kembali melangkah dan memasuki Taman Rangkat yang benderang diterangi sinar bulan separuh.

Pepohonan jepun terletak agak jauh ke dalam Taman, di dekat kolam teratai. Dahulu, tempat itu menjadi tempat yang paling sering Sekar kunjungi, bersama Jaka tentunya. Tapi setelah Jaka tak lagi bersamanya, ia bahkan tak pernah berpikir untuk kembali lagi ke tempat itu.

Ada yang berubah di tempat itu. Beberapa pohon jepun meranggas karena tak terawat. Biasanya di setiap pohon terdapat puluhan kuntum jepun. Tapi kali ini, Sekar belum melihat satu kuntum pun.

Ah, itu dia jepunku, kata Sekar dalam hati ketika melihat ada satu jepun terselip di antara dedaunan. Ia berusaha meraih bunga itu tapi nampaknya terlalu tinggi posisinya. Sekar hampir menyerah ketika ada tangan yang terjulur dan meraih jepun itu.

Sekar terkejut dan langsung menengok siapa gerangan pemilik tangan gagah itu. Ternyata Erwin sudah berada di sampingnya sambil memegang jepun.

“Kau hendak mengambil ini, Dik?” tanya Erwin kepada Sekar.

“Iya, Mas.”

“Kalau begitu, jepun kuberikan ini untukmu, Sekar,” sahutnya sambil menyodorkan jepun kepada Sekar.

Sekar menerima jepun itu dan membelainya seolah itu adalah bunga terakhir yang ada di bumi ini. Ia tak sadar, Erwin masih berada di hadapannya dan menatapnya dengan lekat.

“Kau begitu menyukai jepun.”

“Ya. Bagiku bunga ini begitu mempesona, walaupun ia tak memiliki aroma yang tajam layaknya melati atau kenanga.”

Tiba – tiba saja Erwin meraih jemari Sekar dan menggenggamnya dengan penuh perasaan, lama sekali. Dan itu membuat Sekar merasa canggung.

“Ng…. Can I get my hands back? Please….”

Come with me. And I’ll make you my princess.”

Sekar terperangah dengan ajakan Erwin. Ia tak dapat berkata – kata. Rasanya seluruh panca inderanya tiba – tiba tak berfungsi, terutama indera pengecapnya. Lidahnya kelu, tak dapat mengucap kata.

Sementara itu, di balik rerimbunan pohon Bougainville, Jaka melihat apa yang dilakukan Sekar dan Erwin. Entah untuk keberapa kali, hatinya hancur. Mungkin beginilah rasa sakit yang Sekar rasakan kala melihatku bersama Kembang, pikir Jaka.

Jaka memasang kembali ipod headset-nya dan menekan tombol play. Terdengarlah suara khas Justin Bieber menggema, menggetarkan gendang telinga, dan juga hati Jaka.

That that should be me, holding your hand…

That should be me, making you laugh…

That should be me, this is so sad…

That should be me… that should be me…

That should be me, feeling your kiss…

That should be me, buying you gift…

This so wrong, I can’t go on…

Do you believe that that should be me?

--- bersambung ---

part 4

backsound : That Should Be Me - Justin Bieber

Note : Saat ini Desa Rangkat sedang mengadakan proyek "Pojok Baca Rangkat"

Untuk info lebih lengkap, silahkan klik di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline