Lihat ke Halaman Asli

[KCV] Lembaran Euro untuk Ni Luh Sari

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328974126978376724

no. 16 (Sekar Mayang & Citra Rizcha Maya) Semuanya berubah! Tidak ada yang bisa membeku tanpa tersentuh waktu.

Ni Luh Sari

Matahari sudah hampir menghilang di horizon sebelah barat dan daganganku baru laku sedikit. Sepertinya aku bakal merugi lagi hari ini. Tapi paling tidak, aku harus bertahan sebentar lagi. Masih banyak orang di pantai ini dan aku masih bisa menawari mereka untuk membeli lumpia gunting daganganku.

Namaku Luh Sari dan aku seorang pedagang lumpia gunting di Pantai Mertasari. Itu bukan sebuah pekerjaan yang layak untuk anak seumurku. Aku terpaksa melakukan itu karena ibuku yang mewariskan pekerjaan itu sebelum ia pergi meninggalkanku begitu saja lima bulan yang lalu. Entah apa yang ada di pikiran ibuku hingga ia tega meninggalkan anaknya yang baru berumur dua belas tahun sendirian. Andai saja ayahku masih hidup, tentu aku masih bisa bersekolah. Ya, setidaknya, itu harapan yang masuk akal.

Aku masih menyusuri pasir Pantai Mertasari ini. Kerumunan manusia sudah mulai menipis. Masih ada beberapa turis asing yang menikmati pemandangan pantai. Biasanya para turis asing ini tidak tertarik dengan penganan lumpia gunting. Tapi apa salahnya aku mencoba sedikit peruntungan itu.

“Lumpia, Mister?!”

Hanya beberapa kata dalam bahasa Inggris yang aku mengerti. Seorang teman yang mengajarkannya padaku. Salah satunya ya yang baru saja kuucapkan itu.

Aku menawarkan kepada seorang pria turis asing yang nampaknya sedang berlibur dengan anak perempuannya. Anak perempuan itu sebaya aku, dan parasnya sungguh cantik.

Pria turis asing itu menjawab tawaranku. Dia bicara dalam bahasa Inggris yang aneh. Mungkin logatnya lain, aku tidak paham, tapi aku tahu itu masih bahasa Inggris. Meskipun aku tahu, tetap saja aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Aku hanya mengerti ketika ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya padaku. Ia mau dua porsi.

Langsung saja kubuatkan dua porsi lumpia gunting untuk pria itu dan anaknya. Kulihat mereka sangat menikmati penganan murah ini. Mereka minta tambah.

Aku senang. Walaupun daganganku masih tersisa amat banyak, tapi aku senang masih diberi kesempatan untuk hidup sampai senja ini.

Lima tahun kemudian….

Aku masih Luh Sari yang sama. Tidak berubah sedikitpun. Aku masih seorang pedagang lumpia gunting di Pantai Mertasari. Aku menyaksikan banyak perubahan di sini, termasuk para pedagangnya. Nampaknya hanya aku pedagang terlawas di pantai ini.

Sore ini aku agak lelah. Sedari subuh aku membantu seorang tetangga membuat jaja banten untuk dijual di pasar. Hasilnya lumayan untuk menghidupiku beberapa hari ke depan.

Aku menumpang duduk di kursi pedagang mie ayam di dekat tempat parkir mobil. Tak jauh dari tempatku duduk, seorang pria baru saja turun dari mobil. Pria setengah baya itu mengenakan celana panjang dan kaos polo.

Ah…. Entah mengapa, aku merasa mengenal pria itu. Agak berlebihan, memang. Bisa jadi, aku hanya mengira – ngira pria itu sama dengan orang lain yang beberapa hari aku lihat di pantai. Tapi tetap saja, ada hal yang menarik dari pria itu. Dan aku tak tahu apa itu.

Aku terkejut ketika ternyata, pria itu sudah ada dua langkah di hadapanku. Aku hanya bisa menatap wajah sendunya yang mulai memerah terkena sengatan matahari sore.

You…. I know you….

I’m sorry, Mister. I don’t understand what you’re talking about.

Bahasa Inggrisku sudah lebih baik sekarang. Aku belajar di sini, di pantai ini.

Come with me.”

Pria itu sepertinya mengajakku untuk kembali ke bibir pantai. Hmm…. Apa salahnya kuikuti dia? Dia tak tampak seperti orang jahat bagiku.

Timon Hahn

Kembali lagi ke tempat yang pernah aku datangi lima tahun silam. Segalanya berubah, termasuk duniaku. Tapi entah mengapa, tidak ada yang berubah dengan tempat ini. Salah! Semuanya berubah! Tidak ada yang bisa membeku tanpa tersentuh waktu. Lihatlah gadis yang kini di sampingku, dia telah tumbuh, beranjak dewasa dengan wajah cantik mempesona khas wanita tropisnya. Dan lihatlah aku hanya sendiri, tanpa gadis kecilku yang cantik. Duniaku berubah bersama dengan kepergiannya.

Sekarang aku di sini, di tempat ini, di pantai ini, menikmati penganan nikmat yang asing di lidah. Tapi tetap kunikmati, demi sebuah kenangan indah yang menyakitkan. Sejujurnya aku hanya ingin memandang lepas ke arah lautan. Tapi mataku tak ingin berhenti menatap gadis di sisiku, memandang gadis kecil sederhana yang duduk di sisiku. Penganan nikmat yang ia sajikan membuatku terkenang lagi dengan gadis kecilku, Catherine. Mein Cathy Cat. Lima tahun berlalu sejak liburan terakhirku dengan putri kecilku.

Aku tak ingin lagi mengenangnya. Karena sungguh amat menyakitkan bagiku. Tapi bagaimanapun juga, alasan mengapa aku bisa di sini dan menikmati segar angin laut yang beraroma garam, serta memandang matahari terbenam, sungguh ini semua karena putri kecilku. Bagaimanapun aku ingin melupakannya, ternyata takkan pernah bisa.

“Where is your daughter, Mister?”

Gadis itu bertanya malu-malu. Aku tahu dia masih mengingatku dan juga putriku.

“Heaven.”

Aku ingin menjawabnya begitu, tapi lidahku kelu. Karena rasa pedas, ataukah karena pertanyaan tentang putriku selalu membuat lidahku kebas?! Aku tidak tahu.

Oh, Cathy Cat. Seandainya bisa membawamu kembali lagi ke sini. Dulu, kau bilang kau akan sembuh setelah kau mengunjungi tempat impianmu. Tempat yang kau tunjukkan padaku dari guntingan majalah wisata yang kau jadikan kliping. Meine schatz, kenapa aku tak bisa menikmati indahnya Bali denganmu lagi?

Oh, Cathy Cat, Mein tochter. Usiamu begitu muda, tapi Tuhan memanggilmu begitu tiba-tiba. Lima tahun lalu, vonis itu jatuh begitu saja, menghantam dengan kejam, menghancurkan duniaku, merobohkan harapanku dan merusak segala harapan tentang masa depan putriku tersayang. Aku tak akan pernah cemburu pada pemuda yang akan mencium gadis kecilku di depan pintu rumah sepulang mereka dari prom nite. Aku tak akan pernah memotret tawa bangga dan bahagianya saat dia memakai toga. Aku tak akan pernah melihatnya memakai gaun pengantin ibunya dan mengantarkannya ke altar, melepasnya untuk bahagia bersama pria yang dicintainya. Aku takkan pernah mendampinginya melahirkan bayi pertamanya. Putriku pergi menyusul ibunya dengan cara yang sama, karena Leukemia.

Oh, Cathy Cat. Memandang gadis ini membuatku terkenang lagi dengan celotehanmu. “Vater…. Aku ingin menukar hidupku dengan hidup gadis itu.”

Dia tersenyum kala mengatakannya. Gadis kecilku punya senyum menawan. Apapun yang dilakukannya seolah membuatku merasa damai dan nyaman.

“Warum? Kenapa?” tanyaku waktu itu kepada putriku.

“Dia akan hidup lama… Lagipula, dia bisa memasak makanan senikmat ini,” jawab Cathy kala itu. Saat mengatakannya, sauce kecoklatan menyisakan noda di bibirnya yang berwarna pink cerah. Aku membiarkannya. Aku tahu, dia akan menjilati bibirnya dengan cara yang biasa, yang lucu dan manja. Usianya dua belas tahun tapi dia tak bisa mengenyahkan bahasa tubuh usia lima tahunnya. “Mau taruhan denganku? Gadis itu…, dia akan hidup lama, Vater,” sambungnya lagi.

Aku ingat saat Cathy mengatakannya, matanya berbinar. Selain pantai, pasir, laut, dan matahari, Cathy sangat menyukai taruhan. Tapi kali ini taruhan yang diajukannya adalah sebuah pertaruhan bodoh. Aku ingin menggeleng, tapi saat melihat senyumannya. Tak ada hal yang bisa membuatku menolaknya, jadi aku mengangguk.

“Lima tahun yang akan datang, di hari kasih sayang Valentinstag, datanglah kesini. Dan lihat…. Apa dia masih hidup… atau tidak? Dan jangan lupa bawakan aku pasir pantai ini, bila aku terlalu sakit untuk bisa pergi. Mungkin pasirnya akan berguna untuk kupakai menghias figura foto saat aku sembuh. Atau bila aku telah pergi jauh ke surge, letakkanlah pasir ini di makamku, Vater. Kau harus melakukannya. Anggap saja itu kado Valentine-ku lima tahun mendatang, okay?!”

Dia memelukku lalu menciumku. Mengapa dengan begitu mudah dan pesimisnya dia menatap masa depannya? Mungkin itulah pertanda yang dibacanya. Sekarang aku masih bisa merasakan ciuman lengketnya yang meninggalkan noda sauce pedas itu.

Si Gadis Bali itu menatapku lama, dan kusadari mataku berkaca-kaca. Aku tersenyum padanya dan menyadari bahwa aku telah membuktikan bahwa gadis ini masih hidup. Dan aku kalah taruhan dengan putriku. Aku merogoh botol kaca kecil lalu meraup sejumlah pasir dan memasukkannya ke dalam botol. Lalu aku berkata dalam hati, “Kau menang Cat, dan ini kado Valentine-mu.” Saat mengatakannya dalam hati, aku melihat putriku di hadapanku. Tersenyum padaku dengan pendar cahaya keperakan dan ada halo yang mengelilingi kepalanya. Dia secantik dewi dengan latar belakang, matahari terbenam Bali.

Ich liebe dich , Vater…,” dia tersenyum “ ich moechte essen,“ katanya lagi sambil menunjuk makanan yang ada di tanganku. Aku menggeleng. Seandainya aku mampu menyuapinya makanan ini, seperti lima tahun lalu. Dan seperti yang kuingat dia membandel. Dia mendatangiku dan menyuapi sendiri makanan yang ada di tanganku, lalu menciumku. sauce-nya sekarang terasa menempel di pipiku.

Danke,” ucapnya, lalu dia pun pergi.

Danke Schatz,” bisikku, dan saat tersadar aku meneteskan air mata.

Si gadis Bali menatapku lama, dan kemudian mengucapkan kata maaf dengan ekspresi menyesal.

“Sorry, bibir si gadis Bali bergetar saat mengatakannya.

“It’s okay,” jawabku. Aku menghapus air mataku dan merogoh kantungku, mengeluarkan lembaran seratus Euro yang diterima si Gadis dengan wajah campuran keterkejutan dan heran

Aku mengangguk padanya, lalu mengusap kepalanya dan pergi. Bahkan seratus Euro tak cukup untuk membayar kenangan yang kuulangi lagi seperti yang diinginkan putriku.

:::HAPPY VALENTINE DAY:::

Keterangan :

Mein schatz : sayangku

Mein tochter : putriku

Vater: Ayah

Warum : Kenapa

Valentinstag : Hari Valentine

Halo : lingkaran cahaya pada kepala bidadari atau malaikat

Ich liebe dich , Vater : Aku mencintaimu, Ayah

Ich moechte essen : aku mau makan

Danke : terima kasih

Danke, Schatz : terima kasih, sayang

gambar nyomot dari google

backsound: "Somewhere in Time" by Maxim Bloom

silahkan bergabung dan berinteraksi dengan kami di Fiksiana Community.

untuk melihat karya KCV lainnya, silahkan klik di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline