Respons kebijakan menjadi kunci utama dalam mengatasi guncangan yang terjadi disuatu negara yang juga dapat berdampak pada kondisi ekonomi. Hal tersebut terjadi setiap saat. Misalnya, hampir semua ekonom percaya bahwa negara-negara kecil akan lebih baik jika mereka menghilangkan semua hambatan dan aturan yang berbelit-beli dalam perdagangan internasional. Namun, perdagangan bebas unilateral hampir tidak pernah terjadi, dan saat ini tidak ada negara di dunia yang melakukan hal tersebut. Mengapa tidak? Secara umum, mengapa pemerintah mengalami banyak kesulitan dalam menentukan kebijakan ekonomi yang tepat? Mengapa nasihat dari pengamat, analis, dan cendekiawan independen sering kali tidak diindahkan? Politik adalah jawaban yang lazim, dan jawabannya biasanya benar. Bagaimana tepatnya politik menghalangi pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik, bahkan ketika krisis sedang terjadi?
Kebijakan pemerintah seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik baik individu maupun kelompok dan tidak mempertimbangkan atau mengutamakan kepentingan publik. Hal tersebut banyak dilakukan untuk kepentingan segelintir orang. Model teori elite berkembang dari teori politik elite-massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa (Nugroho, 2009:400). Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apa pun, selalu ada bias dalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elite-tidak lebih. Preferensi para elite untuk menguntungkan dirinya dan kelompoknya semakin terasa dan secara eksplisit ditunjukan kepada publik dalam kontestasi demokrasi melalui pemilihan umum. Dalam proses pemilihan kembali petahana tidak jarang memberikan respon kebijakan yang memihak pada kepentingan kelompoknya. Namun, kita juga harus mengingat sejauh mana proses pemilu memberikan penghargaan atau hukuman kepada pejabat terpilih berdasarkan aktivitas terkait kebijakan mereka selama menjabat?
Fenomena yang unik terjadi di Indonesia pada pemilihan umum tahun 2024 dimana banyak kebijakan yang terkesan sangat menguntungkan dan memihak pada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut banyak menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Namun, hal tersebut seolah termaafkan dan tidak dapat menimbulkan dampak negative atau "hukuman" pada pihak tersebut. Apakah hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah yang "terkesan" memihak masyarakat selama masa jabatannya?
Sejak tahun 2014 Pemerintah Indonesia berfokus pada pembangunan infrastruktur untuk memastikan tercapainya pemeretaan sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat berangsur meningkat. Namun, faktanya tidak semudah itu, dimana harga-harga bahan pokok masih melambung tinggi di daerah tertinggal dan kebijakan tersebut meninggalkan warisan hutang negara yang hampir menyentuh Rp 8.000 T. Pembangunan infrastruktur dan komunikasi politik yang dibangun dengan sangat baik seperti menghipnotis banyak persepsi masyarakat akan kondisi negeri ini yang sebetulnya sedang tidak baik-baik saja.
Ekonomi politik adalah tentang bagaimana politik mempengaruhi perekonomian dan ekonomi mempengaruhi politik. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan perekonomian sebelum pemilu, sehingga apa yang disebut siklus bisnis politik menciptakan pasang surut aktivitas ekonomi di sekitar pemilu. Demikian pula, kondisi ekonomi mempunyai dampak yang kuat terhadap pemilu. Para ekonom politik telah mengungkap fakta sederhana (yang mungkin meresahkan) bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah informasi yang kita perlukan untuk memprediksi dengan cukup akurat hasil pemilu presiden AS selama 100 tahun terakhir (lihat, misalnya, Fair 2018). Kondisi ekonomi Indonesia masih terlihat dalam kondisi yang baik diantara banyak negara yang jatuh dalam resesi, namun, Indonesia masih dalam kondisi yang aman dan bahkan memiliki pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat. Meskipun begitu, apa yang terjadi sebenarnya tidak baik-baik saja dimana kenaikan harga bahan pokok dan kelangkaan bahan pokok kerap kali terjadi dengan lonjakan yang begitu besar. Namun, Pemerintah Indonesia saat ini memiliki komunikasi politik yang sangat baik sehingga kondisi tersebut seakan bukanlah hal yang mengkhawatirkan dan masyarakat tetap tenang dengan kondisi tersebut. Jadi mengapa pemilu tidak berhasil mendorong politisi memilih kebijakan terbaik?
Prinsip dasar ekonomi politik adalah bahwa pihak yang menang tidak suka dikenai pajak untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang kalah. Dan pertarungan yang terjadi bukanlah mengenai apa yang terbaik bagi masyarakat, melainkan mengenai siapa yang akan menjadi pemenang. Apa yang terbaik bagi negara ini mungkin bukan yang terbaik bagi kawasan, atau kelompok, atau industri, atau kelas para elite dan kelompoknya.
Bahkan di negara demokrasi, banyak warga negara yang mungkin setuju bahwa politik mematuhi "golden rules": mereka yang punya emaslah yang membuat aturan. Kelompok berkepentingan khusus tampaknya memainkan peran yang sangat besar di seluruh dunia, baik secara demokratis maupun tidak. Kelompok-kelompok ini termasuk orang-orang kaya, industri-industri kuat, bank-bank dan perusahaan-perusahaan besar, serta serikat buruh yang kuat.
Apakah demokrasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi? Para pemilih adalah pelaku yang, melalui pemilu, menugaskan pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Ciri pentingnya adalah warga negara memiliki kemampuan untuk memilih dan memantau pemerintah. Lingkungan ekonomi yang lebih baik akan muncul jika pemilu menurunkan insentif atau kemampuan pemerintah untuk membuat peraturan dalam mencari keuntungan (Keefer 2009: 889). Oleh karena itu, pemilu sering kali diharapkan akan mengurangi korupsi dan perburuan keuntungan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, apakah hal tersebut dapat dicapai jika "golden rules" tetap menjadi kunci utama dalam kekuasaan politik? Janji politik kepada masyarakat sering terlupakan karena banyaknya pemenuhan janji politik terhadap mereka yang memiliki "emas" yang membantu penguasa politik untuk mencapai kekuasaannya. Dukungan para pemilik "emas" adalah hutang yang harus dibayar oleh mereka yang terpilih dan balas budi hutang tersebut sangat nampak dengan jelas mulai dari kemudahan perizinan, kebijakan yang memihak sampai pada pembagian jabatan pada pemilik "emas" tersebut. Sinergi antara pemilik “emas” dan penguasa harus dilandasi dengan komitmen membangun bangsa. Darurat rasa nasionalisme untuk membangun bangsa bersama-sama dan tidak memperkaya diri sendiri menjadi tantangan terbesar dalam kesejahteraan bangsa saat ini. Kolaborasi yang dilandasi atas dasar yang salah dengan tidak mengedepankan komitmen tersebut membuat kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang semakin besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H