Jika membahas mengenai feminisme dan sastra, tentunya akan menjadi bahasan yang cukup rumit. Hal ini dilihat dari feminisme dan sastra yang merupakan dua kajian berbeda. Jika, feminisme membahas perempuan, maka sastra akan membahas karya. Namun nyatanya, kedua perbedaan ini dapat dibahas secara bersamaan. Seperti karya sastra cerpen contohnya. Cerpen atau cerita pendek tidak seperti karya sastra lainnya yang memiliki jalan cerita dan konflik yang panjang. Cerpen memiliki alur yang singkat, namun memiliki makna yang jelas seperti karya sastra lainnya.
Cerpen yang menjadi bahasan kali ini adalah cerpen berjudul Sih karya Ajib Purnawan. Cerpen ini menceritakan kisah seorang wanita tua yang hidup serba kekurangan. Dibalik tubuhnya yang sudah renta, Sih masih harus mencari kayu bakar guna menyokong kehidupan sehari-hari. Sih berjualan kayu bakar yang ia gendong pada pundaknya yang sudah membungkuk. Sih digambarkan sebagai wanita tua lugu yang tidak tahu apa-apa. Bahkan Sih tidak mengerti mengenai nilai mata uang. Keadaan itu diperparah dengan Sih yang buta aksara atau tidak memiliki kemampuan dalam membaca.
Hal ini disebabkan Sih yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sedari kecil. Hidup dikeluarga serba kekurangan membuat Sih hidup dalam kebodohan hingga diusia tuanya. Sih mendapatkan perlakuan tidak adil akibat dari ketidaktahuannya itu, ia dimanfaatkan sebagai pemuas nafsu oleh laki-laki tidak bertanggung jawab yang membuatnya hamil tanpa pernikahan.
Melalui sudut pandang tokoh Sih, unsur feminisme liberal tergambar melalui ketidakadilan yang dialami tokoh Sih. Ketidakadilan di dapat tokoh Sih akibat dari minimnya hak perempuan dalam ranah pendidikan dan ekonomi. Stigma yang diberikan pada kaum perempuan bahwa perempuan tidak membutuhkan pendidikan, membawa pada penderitaan seperti kemiskinan, kebodohan, serta tindak kejahatan yang dapat membahayakan diri. Mary Wollstonecraft menulis A Vindication of the Rights of Women di tahun 1792, berpendapat bahwa perempuan seharusnya mendapat akses yang setara seperti halnya laki-laki dalam kesempatan ekonomi dan pendidikan.
Kaum Feminis Liberal tidak mampu untuk melihat bahwa perempuan ada pada golongan yang paling minim mendapat akses pendidikan, baik itu karena biaya yang mahal ataupun karena diskriminasi yang kerap terjadi. Dilihat dari fakta tersebut, bagaimana seorang perempuan bisa mendapatkan kelayakan hidup dari segi ekonomi jika hak pendidikan saja sangat dibatasi. Sebagian besar perempuan yang hidup dan tinggal di negara-negara miskin dan menjunjung patriarki, yang merupakan korban imperialisme dan hidup di bawah garis kemiskinan, sering dikesampingkan terkait pendidikan dan hak lainnya. Seperti contoh tokoh perempuan bernama Sih dalam cerpen ini.
Para kaum Feminisme Liberal hanya berkata bahwa sumber permasalahan perempuan selama ini ada pada diri perempuan itu sendiri. Solusi yang harus dilakukan untuk menangani permasalahan ini adalah dengan membekali kaum perempuan dengan pendidikan dan juga pendapatan. Mungkin jika Sih mendapatkan hak pendidikan yang seharusnya ia dapatkan, Sih tidak akan hidup dalam kebodohan dan kemiskinan yang membuatnya mengalami kejadian yang memperihatinkan. Dan ketidakpedulian orang-orang disekitar Sih dengan membiarkan seseorang hidup tanpa dibekali ilmu membuat miris pembaca cerpen ini.
Bagi sebagian besar orang---contohnya orangtua Sih--- pendidikan bukanlah hal yang penting bagi perempuan. Padahal, apabila kaum perempuan bisa mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki, perempuan akan dapat mengembangkan diri mereka secara optimal. Seperti apa yang disampaikan oleh Subono (2003:101) yang mengatakan bahwa dengan menyamaratakan pendidikan kaum perempuan dengan pendidikan kaum laki-laki, maka hal itulah yang akan membuat seorang wanita itu menjadi "independent woman", bukan hanya menjadi boneka dan mainannya kaum lelaki.
Kutipan yang ada di dalam cerpen yang membuktikan ketidakadilan yang dialami pada tokoh Sih, sebagai berikut:
Sih letih, namun tidak heran. Ia memang perempuan yang tak pernah makan bangku sekolahan. Kata orang-orang, uang kertas dalam kepalanya berakhir di angka sepuluh ribu. Dua pulih ribu? Lima puluh ribu? Seraus ribu? "Itu bukanlah uang, hanya kertas yang tidak laku," katanya.
.... Tanpa ia sadari, zaman telah berganti. Di luar kemampuan kepala Sih, kayu bakar menjadi korban konversi. Pikirannya tak mampu menjangkau berita di televisi, walaupun sekadar mambayangkan. Maklum, ia satu-satunya janda setengah baya buta aksara di Banyubiru.
Polos, lugu, jujur, namun tumpul, seperti ketika ia membalas kedipan mata To. Tak paham artinya, tak tahu maksud kedatangan To juga. Lalu ia mendekat dan duduk berhadapan dengan lelaki yang masih basah kuyup.
.... seorang Sih memang tidak mengerti makna dosa, tak tahu arti neraka, sebab tak ada yang memberi tahu. Sedari kecil ia senantiasa bekerja, melakukan sesuatu utntuk mendapat upah, menjual barang akan mendapatkan uang. Orang tua Sih tak memperkenankan anaknya sekolah, takut menjadi orang yang tidak jujur.