Saat nonton Film Negeri 5 Menara saya tertegun pada saat adegan Alif mewawancarai Kyai Rais:
“Kyai apakah benar guru-guru disini tidak digaji?”
“Benar. Guru-guru disini tidak digaji, mereka mengajar dengan keikhlasan dan bertujuan semata-mata pengabdian kepada Allah SWT.”
“Jangan mencari hidup dari pondok madani, tetapi hidupilah Pondok Madani”
(kurang lebih begitu dialognya) [caption id="attachment_166939" align="aligncenter" width="300" caption="Para Ustadz di Pondok Madani: Mengajar dengan Keikhlasan"][/caption] Kemudian saya teringat waktu mengikuti Pesta Wirausaha TDA di Jakarta Bulan Januari 2012 kemaren. Di forum itu Pak Badroni Yuzirman, founder TDA mengatakan bahwa,
“TDA ini bisa menjadi sebuah komunitas besar semata-mata karena keikhlasan para pengurusnya. Para pengurus TDA sama sekali tidak digaji. Hanya keikhlasan.”
[caption id="attachment_166940" align="aligncenter" width="300" caption="Komunitas TDA, besar karena keikhlasan pengurusnya"] [/caption]
Lalu saya ingat renungan saya tentang politik dan kekuasaan.
Saya berpikir, bahwa seharusnya POLITIK dan KEKUASAAN tidak boleh dijadikan profesi. Entah itu di level Ketua RT, RW, Kepala Desa sampai ke Anggota Dewan yang Terhormat. Akan sangat berbahaya apabila seseorang mendapatkan nafkah/penghasilan dari kekuasaan. Kenapa? Lha iya pemilu kan cuma 5 tahun sekali. Ya kalau kepilih lagi, kalau nggak? Maka hilanglah sumber penghasilan dari para pemilik kekuasaan tersebut.
Jika seseorang sampai mencari nafkah dari kekuasaan, maka dia akan mencari cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Simpel saja logikanya: orang nggak mau kan kehilangan sumber pendapatannya. Bukan itu saja: Orang juga tak mau kehilangan zona nyamannya!
Saya lebih setuju apabila POLITIK dan KEKUASAAN adalah sebagai alat PENGABDIAN. Maka Tidak perlu ada gaji.