Lihat ke Halaman Asli

Yang Terlupakan!

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Di sebuah warung remang-remang yang sudah mulai sepi. Seorang wanita yang kutaksir sekitar 35 tahun usianya, tengah menghisap sebatang Djarum.  Dengan dandanan menor, mulai dari lipstik yang melewati garis bibir hingga bedak yang  hampir menutupi warna asli kulitnya. Baju yang dikenakannya pun terlihat jadul, sepertinya ingin ikut mode tapi terhalang informasi yang sulit dijangkau, atau memang sudah berusaha tapi tidak mampu membelinya.

Hujan sudah sejak tadi berhenti dan kini tinggal rintik-rintik kecil yang semakin memekat malam. Jalanan dibuatnya basah dengan beberapa genangan air yang terpajang diatas aspal.  Wanita itu terlihat  lesu duduk diatas bangku panjang menekuk kakinya sambil terus jarinya memainkan sebatang rokok yang masih menyala. Tatapannya terlihat kosong seperti telah kehilangan sesuatu. Kepulan asap yang mengitari wajahnya terus membumbung tinggi ke angkasa. Sambil menengadahkan wajahnya kelangit, seperti berharap sesuatu.

Saya menepikan motor, tepat dipinggir bangku panjang itu. Si Ibu terlihat diam tanpa gerak. Dalam hati semoga ia memberikan ruang untuk duduk dan melepas lelah. Setelah seharian mengitari ganasnya Ibu kota. Ternyata dugaanku benar, Ibu itu mau menggeser tempat duduk, bahkan menawarkan sesuatu.

“Mau rokok Dek, ??” Sambil menyodorkan bungkus yang tinggal beberapa batang.

“Eh !! enggak bu, makasih.” Kemudian Ibu itu kembali meluruskan pandangannya menatap  malam dengan emosional. Sebenarnya agak canggung duduk disamping perempuan yang sudah memiliki banyak gelar, mulai dari kupu-kupu malam, benalu malam, pelacur, wanita jalang, dan masih banyak lagi sebutan yang sedikitpun tidak menunjukan kebaikan.

Tapi saya optimis, dari gerak-geriknya sama sekali tidak menunjukan ambisi untuk disunting secara kontrak. Dia terlihat santai bahkan sikap ramah yang jarang dimiliki wanita semacamnya dia nampak punya. Mungkin dia tahu dari wajah saya yang masih berumur belasan.


Sementara angin malam kian mendesau, udara dinginnya menembus switer hingga kedalam.  Aku pun beranjak untuk memesan teh hangat dari warung remang itu. Terdengar dari dalam alunan musik dangdut yang sudah tak murni, tercampur genre disko. Dan sesekali bersama arah angin, tercium bau alkohol bercampur asap rokok. Sebangun :  sebelum saya kembali ketempat duduk, wanita itu berdiri seraya berteriak sambil mengangkat wajahnya. “Bang !! kopi kurang manis satu !!“  Kemudian kami duduk secara serentak dengan wajah yang sama berbeda.


“Na. . . na . . . na” Perempuan itu mencoba mengikuti lagu yang sama sekali tak hafal liriknya, hanya mengusir sepi mungkin.

“Kemalaman Dek, emang dari mana ?”

“Oh,. . . iya bu, saya dari Kampung Melayu, mau cari alamat ko belum ketemu-ketemu !”

“Kampung Melayu !!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline