Lihat ke Halaman Asli

Gay Bukanlah Sebuah Pilihan!

Diperbarui: 25 September 2015   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Entah kenapa saya selalu merasa kesal setiap kali mendengar ada orang yang mengatakan bahwa menjadi Gay itu adalah sebuah pilihan. Bagi saya itu adalah sebuah pemikiran yang tidak berdasar. Bayangkan saja, mana ada orang yang lebih memilih dirinya untuk menjadi gay kalau dia bisa memilih untuk menjadi straight (normal). Kalau ada pilihan seperti itu, tentu di dunia ini tidak akan ada yang namanya LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Hanya orang yang tidak waras tentunya yang lebih memilih dirinya untuk dihina dan dicaci maki oleh setiap orang sepanjang masa hidupnya. Bahkan yang paling membuat saya jengkel itu jika ada dari kaum LGBT sendiri yang menyatakan bahwa menjadi gay itu adalah pilihan. Biasanya yang sering mengatakan hal seperti itu adalah mereka yang orientasinya Bisexual (Bi).

Saya merasa mereka tidak benar-benar merasakan apa yang “pure gay” alami. Karena selain mereka  menyukai pria, mereka juga tertarik pada wanita. Saya bukannya bermaksud untuk memojokkan kaum Bi, tapi biasanya sebagian dari Bi ini di dunia gay ketemuan (read kopi darat) cuma buat cinta satu malam saja, sebagian lainnya mau menjalin hubungan. Beda dengan pure gay yang sebagian besar menginginkan status. Saya kesal dengan kaum Bi jika mereka mengatakan bahwa gay itu adalah sebuah pilihan. Soalnya mereka ini kan gak jauh beda dengan gay, setidaknya mereka harus sedikit lebih mengerti dibandingkan dengan kaum straight. Bukannya malah ikutan men-judge juga. Saya pernah ketemuan (kopi darat) dengan seorang teman facebook (Bi) yang dimana dia keukeuh mengatakan bahwa gay itu adalah pilihan, padahal dia juga binan (istilah untuk kaum gay). Kemudian saya menanyakan apa alasan dia menyatakan pendapat seperti itu. Dia-pun menjawab berdasarkan pengalaman dia, dia menjadi gay itu karena sebuah accident dimana dia dirayu untuk berhubungan intim dengan pria. Kalau saya bilang sih itu adalah tidak masuk akal, mana ada pria straight yang mau berhubungan badan dengan pria lain kalau dia tidak mempunyai bibit-bibit untuk menjadi gay sejak dulu. Tapi dia tetep kekeh bilang kalau sebelum kejadian itu dia adalah pria yang benar-benar straight.

Oke, terlepas dari cerita tentang pengalaman dia itu yang entah benar atau tidak. Dari kisah saya sendiri saya berani menjamin bahwa saya sudah menjadi gay itu semenjak saya masih kecil. Sejak dari saya tidak tahu apa-apa lalu kemudian seja tahu rasa suka dengan seseorang itu seperti apa. Yang saya suka hanyalah pria atau anak laki-laki. Seingat saya tidak ada faktor lingkungan yang mempengaruhi saya untuk menjadi seorang gay seperti ini. Saya tidak pernah menjadi korban sodomi oleh siapapun, keluarga saya tidak broken home sama sekali. Cara mereka mendidik dan memperlakukan saya juga baik-baik saja sejak kecil. Tidak ada yang janggal. Pokoknya bisa dibilang lingkungan masa kecil saya baik-baik saja. Dari sini jelas tidak ada alasan kenapa saya harus memilih untuk menjadi gay. I was born this way. Beda halnya dengan beberapa orang diluar sana yang menjadi gay karena pergaulan bebas, yaitu mencoba-coba untuk berhubungan intim dengan sesama pria atau semacam itu. Mungkin slogan “gay itu pilihan” bagi mereka cocok untuk disandang, maybe, i don’t know. Tapi untuk mereka yang menjadi gay karena penyebab lain seperti cara didik orang tua yang salah, korban broken home, korban asusila, dan terlebih lagi mereka (termasuk saya sendiri) yang sudah lahir seperti itu alias gay karena faktor genetik, jelas-jelas gay itu bukanlah pilihan. Tuhan yang sudah menciptakan kami seperti ini.

Jika ada yang menyalahkan kami, bukankah itu artinya menyalahkan Tuhan yang sudah menciptakan kami dengan seperti ini?

Saya bukannya tidak pernah mencoba untuk berubah menjadi normal. Believe me. I did it. I was trying so hard. Dulu saat awal masa-masa pubertas, sholat 5 waktu tidak pernah saya tinggalkan. Saya selalu berdoa diantara dua sujud kepada Allah memohon agar saya bisa disembuhkan menjadi normal. Saya juga berdoa di waktu-waktu lain yang dikabulkan do’a seperti saat di sepertiga malam, sa’at hujan sedang turun, saat puasa, di pertengahan adzan dan iqamah, dan sebagainya. Semuanya saya lakukan selama bertahun-tahun, berharap suatu hari nanti saya bisa bangun dipagi hari dan merasaakn perasaan yang beda kepada lawan jenis. Tapi itu tidak pernah terjadi. Saya masih sama.

Rasa suka pada sesama jenis tidak berkurang sedikitpun malah semakin menjadi-jadi. Dan pada wanita, saya tidak menaruh hasrat sama sekali. Saya sudah 3 kali mecoba pacaran dengan wanita tapi sama sekali tidak mempengaruhi perasaan saya. Mungkin ini memang takdir yang sudah Allah kasih buat saya. Saya jadi teringat kata-kata dari film yang diangkat dari kisah nyata yang berjudul “Prayers For Bobby(2009)”, dimana menggambarkan bahwa ada seorang Ibu yang begitu taat agama tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya Bobby ternyata seorang gay. Ia berusaha menyembuhkan Bobby dengan berbagai cara tapi itu justru membuat Bobby tersiksa dan tertekan. Sampai akhirnya karena Bobby tidak  kuat menghadapi tentangan dari keluarganya terlebih dari Ibunya sendiri yang terobsesi untuk menyembuhkan Bobby, maka akhirnya Bobby pun memutuskan untuk bunuh diri. Tragis. Kemudian setelah anaknya meninggal dunia, sang Ibu bertanya pada seorang pastur tentang nasib anaknya di akhirat setelah meninggal dunia seperti apa.

“Bobby adalah anak yang baik yang tidak pernah menyakiti siapapun, tapi dia adalah seorang Gay dan meninggal dengan bunuh diri, apakah dosanya akan diampuni?”.

Begitulah pertanyaan yang dia lontarkan. Sang Pastur tidak bisa memberikan jawaban yang pasti Setelah mencari jawaban kesana kemari akhirnya ibunya menemukan jawabannya. Dia tersadar bahwa selama ini dia sudah keliru. Sang Ibu mendatangi pastur dan berkata sambil menangis terisak “Sekarang aku baru sadar kenapa Tuhan tidak menyembuhkan Bobby anakku. Tuhan tidak menyembukan Bobby, karena memang tidak ada yang salah dengan dia. Dia memang sudah diciptakan seperti itu. Aku sudah membunuhnya. Ma’afkan aku. Aku menyesal Tuhan. Oh Tuhan. Akankah Kau mau mengampuni dosaku”. Dan akhirnya semenjak itu Ibunya menjadi pejuang hak-hak LGBT di Amerika.

Sebenarnya kami tidak meminta buat kaum straight untuk mengerti kami sepenuhnya. Tidak perlu, itu terlalu istimewa buat kami. Lagian orang straight juga tidak akan bisa mengerti karena mereka tidak pernah mengalami bagaimana menjadi kami. Merasakan apa yang kami rasakan setiap waktu. Bagaimana kami berjuang setiap hari untuk melanjutkan hidup dengan kepura-puraan. Kami cuma pengen kalian berhenti men-judge kami. Itu saja. Selama tidak merugikan orang lain marilah kita menjalani hidup kita masing-masing. Hanya Tuhan yang tahu kebenaran apa yang ada di langit dan di bumi.

Dialah yang maha mengetahui segalanya. Dialah yang maha sempurna tanpa cela. Kita manusia adalah makhluk yang berlumur dosa, tidak sepantasnya kita menilai keburukan satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline