Lihat ke Halaman Asli

Anak Cina Bantu Bencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_119844" align="alignleft" width="300" caption="Simpang LIma Banda Aceh (Klik untuk melihat sumber)"][/caption] Tahun-tahun awal konflik di Aceh, banyak pengungsian tyang terjadi di mana-mana. Sebagian mengungsi karena memang terjadi kontak senjata di kampung mereka hingga sangat tidak aman jika mereka ada di sana. Sebagain lagi mengungsi karena memang disuruh mengungsi oleh pihak yang berkepentingan, dua belah pihak. Motifnya sama saja, mereka ingin mengambil apa-saja yang ditinggalkan pengungsi di rumahnya. Uang, emas, dan barang berharga yang lain. Kalau mereka menemukan sesuatu, maka kampung itu akan selamat, Kalau tidak, maka kampung itu akan dibumihanguskan. Setidaknya beberapa rumah. Alasannya bisa macam-macam, konslet listrik, kontak senjata, minyak tanah tumpah, atau apalah.Itu perkara gampang! Sebagai mahasiswa waktu itu, kami tidak hanya melihat itu. Apapun alasan yang diberikan tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Banyak perempuan dan anak yang menderita di lokasi pengungsian. Banyak laki-laki dan perempuan yang tak tersalurkan kebutuhan dasar mereka. Banyak anak-anak yang tidak dapat makan dan belajar. Banyak orang tua tidak dapat bekerja untuk menghidupi anak dan keluarganya. Belum lagi yang sakit dan menderita, yang mati dan jatuh sia-sia. Ada juga yang... entahlah, di sana ada sejuta cerita. Kami menggalang dana, mengumpulkan apa saja untuk mereka. Saya bukan orang yang mengomandoi aksi. Sebagai mahasiswa biasa saya hanya ikut-ikutan saja. Kami melakukan berbagai cara mengumpulkan uang, makanan, pakaian, buku, apa saja yang mungkin dibutuhkan di lokasi pengungsian. Pasti tidak akan mencukupi kebutuhan yang besar di sana, namun setidaknya sedikit meringankan beban mereka. Pasti apa yang akan kami sumbangkan tidak akan menghentikan mobilisasi masyarakat oleh pihak-pihak yang berperang, namun setidaknya mereka yang sudah mengungsi bisa bertahan hidup dan bisa kembali ke kampungnya suatu waktu. Saya menjadi panitia pengumpul sumbangan uang di simpang lima, simpangan terbesar dan terpadat di Jalan Raya Kota Banda Aceh. Dalam terik matahari, dengan jaket biru yang sudah berhari-hari tidak dicuci, sebuah kotak mie instan di tangan, saya menengadah pada pemakai jalan yang lewat. Tulisan di depan yang mengatakan sumbangan untuk pengungsi cukup mewakili pengguna jalan mendapatkan informasi. Mendekati mereka cukup dengan sebuah senyuman saja. Beberapa di antara mereka mengulurkan tangan memberikan sisa belanjaan. Beberapa yang lain membarikan uang ribuan. Ada juga yang hanya uang receh yang mungkin tidak laku lagi. Banyak macam orang. Tapi matahari sangat terik. Kami tidak punya makanan dan minuman, tidak juga punya uang untuk membelinya. Karena sumbangan yang kami cari akan diberikan kepada pengungsi, kami tidak berani mengambilnya. Biasanya kami patungan uang sendiri untuk membeli nasi dan makanan untuk kami sendiri. Sebab uang yang kami dapatkan benar-benar akan diberikan kepada mereka yang lebih menderita di bawah tenda sementara di kamp-kamp pengungsian. Kami cukup makan sebungkus berdua, dan itupun sudah sangat kenyang. Jadi untuk makan tetap mengeluarkan uang sendiri. Dalam terik mata hari yang membakar, seorang anak perempuan Cina yang putih berambut lurus kekuning-kuningan datang dengan sepeda merahnya. Di tangan kecilnya ada sebuah bungkusan sebesar badannya. Agak sulit juga ia mendayung sepda dengan membawa bungkusan itu. Namun itu tetap berusaha menelusuri jalan raya yang saat itu sedang sangat padat. Sejak awal saya melihatnya ia mengarah pada saya yang ada di seberang jalan. Dan ia terus berusaha memotong jalan menuju pada saya. Butuh beberapa menit baginya untuk bisa melakukan itu, sampai ia ada di hdapan saya. "Bang, kata Bapak ini bukan untuk pengungsi, tapi ini untuk abang dan teman-teman." "Ohya? terima kasih dek." Saya jawab demikian. Dia langsung berlalu. Selama ini tidak ada orang yang melakukan itu. Saat memberikan sumbangan seharusnya ia menyumbang untuk korban becana. Tapi ia malah mengikuti pesan bapaknya, memberikan sumbangan untuk panitia. Saya yang sudah sangat lapar mebayangkan apa isi di dalamnya. Saya membawa ke tempat teman-teman berkumpul di bawah sebuah pohon. Menceritakan apa yang terjadi baru saja. Dan tidak sabar kami membuka bungkusan itu. Ternyata, sekotak kecil rokok Commondore yang saat itu sedang sangat disukai mahasiswa. Dan teman-teman laki-laki berebut. Kemudian, ada juga beberapa bungkus permen dan roti yang disukai teman-teman perempuan. Dan dibalik makanan itu ada sebuah aplop merah putih. Saya membuka. Ada selembar uang kertas sepuluh ribu tiga lebar. Di dalamnya dan sebuah tulisan. "Untuk beli nasi siang panitia." Wah... kami tidak menyangka. Ternyata ada juga yang berfikir untuk panitia. Terima kasih pak Cina. Kami memang sedang berfikir bagaimana makan nasi siang kali ini. Dan uang itu membuat kami bisa makan enak kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline