Hampir di semua cafe dan warung kopi sepanjang jalan kota Banda Aceh dipenuhi oleh penggila bola. Sejak jam tujuh malam lewat, cafe-cafe sudah dipenuhi oleh masyarakat yang hendak menyaksikan partai pertama piala dunia. Tidak sulit mencari cafe yang nyaman untuk menonton, sebab hampir semuanya menyediakan layar lebar dan tempat duduk yang nyaman. Tentu saja "pengorbanan" ini akan dibayar dengan "hasil panen" selama sebualan ini.
Umumnya, layar lebar ini diletakkan membelakangi jalan. Sehingga mau tidak mau, seseorang yang hendak menonton harus memarkiska kenderaannya dan masuk ke dalam warung kopi atau cafe. Dengan demikian mereka harus memesa minuman atau makanan. Dan dari sinilah pemilik cafe mendapatkan keuntungan.
Saya bersama seorang teman juga mencari sebuah cafe yang representatif untuk menonotn pembukaan malam ini. Kami berputar-putar mencari cafe yang masih menyisakan tempat duduk di bagian depan. Agak sulit juga. Namun akhirnya kami menemukan di Darussalam, arah timur kota Banda Aceh. Di sana ada sebuah cafe yang bagian depan, di dekat layar masih kosong, dan kami segera berhenti di sana.
Meskipun pertandingan belum dimulai, namun sorak sorai pengunjung sudah terdengar. Bahkan beberapa diantara mereka memukul meja seolah baru saja terjadi gol. Dengan diringi oleh suara speaker yang besar di cafe itu, terdengar paduannya begitu gegap gempita, seolah ada di dekat lapangan.
Semula kami sempat kecewa, sebab ternyata di dalam warung hanya ada sebuah televisi 14". Padahal ada puluhan orang di sana yang hendak menonotn bola. Saya jadi bertanya, bagaimana mungkin dengan orang sebanyak itu bisa menonton televisi? Ketika pramusaji lewat saya tanya, kenapa layar di depan tidak dipakai. Katanya, projectornya rusak, lagi diperbaiki. Nanti akan ditayangkan.
Sewaktu pertandingan sudah dimulai, projektornya belum juga tiba. Orang-orang mulai gelisah dan teriakan muali terdengar mengiringi dimulainya pertandingan. Semua orang tertuju melihat televisi 14" yang ada di dalam ruangan. Saya bersama teman yang sudah duduk di dekat layar lebar tidak mendapatkan tempat lagi di depan televisi. Jadinya kami menunggu saja perbaikan projektornya.
Namun lama menunggu, projektor tidak nampak tanda-tanda akan dipasang. Dua orang yang memegang projektor saya lihat masih mengutak atik benda tersebut. Saya coba tanya, apa masih mungkin dipakai? Ia menjawab masih mungkin, sebab tidak terlalu rusak. Saya kembali bersabar.
Dan.... 45 menit pertama berakhir sudah. Skor kacamata menghiasi akhir pertandingan babak pertama ini. Saya hanya mendengar teriakan dan suara dari televisi 14" di belakang saya dan teman duduk. Sementara kami menonoton layar lebar putih yang tidak ada gambar sama sekali. "Masih menunggu projektor" kata seorang pramusaji.
Untung di babak kedua projektor selesai diperbaiki dan kami benar-benar bisa menikmati tontonan babak kedua. Kalu tidak, nyaris malam ini kami hanya menonton layar lebar tanpa gambar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H