[caption id="attachment_103694" align="alignleft" width="240" caption="ilustrasi"][/caption] Tahun 2009, saat masih kuliah semester empat saya bekerja sebagai buruh bangunan. Saat itu kami bekerja membuat sebuah gedung di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Yang saya maksud adalah gedung lama, sebelum pindah ke bangunan bantuan Jerman saat ini. Bangunan yang kami kerjakan setelah selesai dipakai untuk ruang bedah dan cuci darah. Letaknya persis di bagian belakang tempat parkir sebelah Barat bersisian dengan ruang ICCU. Di tengah-tengah komplek rumah sakit ada sebuah masjid yang dinamakan Masjid Ibnu Sina. Masjid ini tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung jamaah yang terdiri dari keluarga pasien atau orang yang mengunjungi orang sakit. Letaknya yang memang berada di tengah-tengah menjadikan masjid ini mudah dijangkau dari sisi mana saja di rumah sakit tersebut. Dari tempat saya bekerja hanya melintasi tiga bangunan lain saja sudah sampai ke sana. Mungkin sekitar 150 meter. Di masjid itu kami sering shalat zuhur. Rumah sakit ini dikelola oleh seorang imam yang sudah sangat tua, mungkin usianya saat itu lebih 70 tahun. Beliau adalah seorang pensiunan Angkatan Darat sejak masa Soekarno. Selain sebagai imam masjid, Ia memiliki "hak" untuk mengumpulkan kantong plastik infus bekas yang dipakai oleh pasien. Botol plastik ini dijual ke agen di Medan, Sumatera Utara. Ia dikenal dengan ketegasan dan disiplin. Salah satu yang paling diingat orang dari sikap beliau adalah instruksi awal sebelum shalat jamaah. Dengan menghadap kepada jamaah beliau berkata dengan suara sangat keras; "Lurus dan rapikan shaf, ratakan tumit dengan garis coklat" Suatu hari, cuaca di Banda Aceh sangat mendung. Awan hitam seolah memayungi kota sejak pagi. Anehnya, sudah lama mendung hujan tidak juga turun. Kami bekerja seperti biasa dan sedikit santai karena udara tidak panas. Apalagi saat itu bos sedang tidak ada, katanya tidak bisa datang karena ada hal penting di rumahnya. Jadi kami hanya bisa menggali tanah untuk pondasi dan mengikat behel untuk cor tiang bangunan. Tiba-tiba, jam 10.20 menjelang siang terdengar suara azan dari masjid yang memang tidak jauh dari tempat kami bekerja. Saya jadi heran, kenapa azan dikumandangkan begitu cepat. Di Banda Aceh umumnya shalat zuhur jam 12.45, bahkan terkadang jam 13.00. Tidak pernah jam 10.20. Atau apakah ada cara tertentu yang harus mengumandangkan azan? saya berfikir itu tidak mungkin.Pasti ada masalah. Apalagi dengan cuaca yang tidak menentu seperti ini. Untuk memastikan semua dugaan saya pergi ke masjid. Saya lihat pak tua sudah duduk di tengah-tengah ruangan masjid yang memang tidak terlalu besar. Saya yang masih mengenakan pakaian kotor karena baru saja menggali tanah tidak bisa masuk ke dalam. Kebetulan beliau melihat saya di pintu. Saya bertanya: "Pak imam, barusan azan untuk shalat atau ada acara?" "Untuk shalat zuhur... ini sudah siang, karena mendung kita tidak rasakan." "Wah... sekarang belum zuhur pak imam. masih jam 10.45. Kan kita zuhur jam 12.45" kata saya sambil menunjukkan jam dinding di bagian depan masjid. Setelah berkata demikian, saya lihat beliau melihat jam yang tergantung agak tinggi tersebut. Kemungkinan beliau silau, dan menutup keningnya seperti orang hormat bendera. Selanjutanya saya tidak tahu apa yang terjadi, saya kembali ke lokasi kerja. Dalam perjalanan menuju lokasi kerja, saya dengat microfon dihidupkan. Setelah batuk-batuk beberapa kali, terdengar suara serak namun tegas dari pak imam: "Pengumuman...pengumuman... azan dibatalkan... waktu zuhur belum tiba...." Saya tertawa sendiri. Ada-ada saja Pak Imam. *** Kalau kita bergantung pada perasaan, maka cuacapun bisa menipu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H