Lihat ke Halaman Asli

Motor Pemicu Diskriminasi Gender!

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun lalu, dalam perjalanan ke sebuah kabupaten dari Banda Aceh, saya menumpang L300, angkutan umum satu-satunya menuju ke sana. Saya duduk di depan di sisi sopir. Beberapa detik sebelum berangkat, seorang perempuan yang tidak terlalu muda diantar oleh sebuah becak mendekati sopir. Perempuan itu nampak sangat tidak rapi. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya juga kusut tidak karuan. Ia datang sambil menangis. Kepada sopir, dengan isak tangis yang tidak berhenti ia mengatakan sesuatu. Saya tidak bisa menangkap semua yang ia katakan, namun saya bisa paham kalau ia sedang dalam masalah dan memerlukan tumpangan. Sopirpun setuju, dan dia naik ke dalam mobil. Perempuan itu duduk di depan, diantara saya sebelah kirinya dan sopir di sebelah kanannyan. Setelah setengah jam di jalan, ia mulai tenang. Saat itulah sopir mulai bertanya, apa yang terjadi. Isaknya kembali terdengar, namun tidak terlalu keras. "Suami saya membawa lari anak kami dengan istri mudanya" kata sang perempuan. Saya menjadi kaget, suami membawa lari anak? Bukankah itu anak mereka? Mungkin sang suami hanya ingin membawanya main-main. Tidak, katanya. Suaminya sudah kawin dengan perempuan lain, orang Medan (Sumatera Utara) dan masih muda. Kemrian dia datang ke Banda Aceh mengambil anak saya yang masih berumur 1,5 tahun dan membawa pergi. Saya mau ke Langsa, rumahnya ibunya (ibu suami) di Langsa. Saya sangat takut anak itu dijual. Suami saya lelaki "kaplat" (bangsat). Ngak punya hati...huk...huk...huk..." ibu itu menangis lagi. Ia mengatakan sesuatu namun tidak jelas suaranya. Ketika tangisnya reda kembali ia melanjutkan kisahnya. Suami saya jarang pulang ke rumah setelah saya melahirkan. Bahkan ia tidak mengirimkan saya uang biaya hidup. Pernah dia pulang, tapi bukannnya membawa kebahagiaan, tapi membaut saya sakit hati. Setahun yang lalu saya membeli sebuah sepeda motor kredit. Dia tahu saya punya sepeda motor, makanya dia pulang. Pagi-pagi dia tiduran di rumah. Sore hari dia keluar dengan sepeda motor. Pertama saya tidak tahu ia pergi ke mana. Tapi karena kadang-kadang ia tidak pulang sampai malam, saya suruh keponakan saya memata-matainya. Ternyata ia pergi dengan perempuan lain, jalan-jalan ke Krueng Raya dan duduk berdua dipinggir pantai. Kita yang capek-capek bekerja mencari uang, dia hanya bersenang-senang dengan perempuan lain. Makanya, waktu ia pulang saya ambil sepeda motor, lalu saya jual. Setelah tidak ada sepeda motor dia pergi lagi. Baru kemarin dia pulang, bersama seorang perempuan muda. Katanya itu istrinya dari Medan. Tadi siang dia ambil anak saya, tapi sudah sampai malam begini belum dibawa pulang juga. Saya telepon, katanya anak saya sudah dibawa bersama. Dia meu mengurus anak. Mana mungkin laki-laki bangsat itu mengurus anak. Dirinya sendiri saja tidak sanggup diurus. Saya takut anak saja dijual. Huk...huk...huk.... ibu itu menagis lagi. Oke, cerita itu masih panjang. Tapi tidak ada kaitan langsung dengan sepeda motor. Ada cerita lain. Sebuah keluarga yang petani. Mereka hidup bersama sudah beberapa tahun yang lalu. Sangat sederhana. Untuk transportasi menuju ke sawah atau ladang mereka hanya naik sepeda ontel yang sudah tua. Dengan sepeda itu mereka nampak sangat mesra. Setelah fasilitas kredit sepeda motor masuk sampai ke kampung-kampung, suami mengajak istrinya mengambil kredit untuk membeli sebuah sepeda motor. Istri setuju saja. Apalagi, ia berfikir, itu akan sangat memudahkan mereka dalam pergi ke sawah atau ke kebun. Setelah mengurus administrasi yang macam-macam, sepeda motorpun datang ke rumah. Belakangan, setelah sepda motor ada di tangan mereka, sang istri baru tahu kalau itu membuat keluarga mereka retak. Suami asik dengan motor barunya, pergi kemana-mana tidak jelas. Katanya silaturahim ke saudara yang jauh. "Untuk apa sepeda motor kalau kita tidak mengunjungi saudara jauh" katanya ketika sang istri menanyakan. Istrinya menerima dengan berat, walaupun hatinya tidak yakin. Suami mulai keasyikan. Ia mulai jarang pergi ke sawah dan ladang. Semuanya mulai ditangani istrinya. Setiap pagi ia mengenakan pakaian terbaik dan berpenampilan sangat rapi. Mengambil sepeda motor lalu pergi entah ke mana. Siang hari ia pulang. Kalau istri belum masak ia marah-marah. Padahal istrinya pergi ke sawah dan ke kebun untuk bekerja. Sementara ia dengan sepeda motornya entah pergi kemana. Dari sebuah kabar burung, katanya, sang suami sudah menemui dermaga baru untuk melabuhkan cinta. Semua gara-gara sepeda motor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline