[caption id="attachment_359583" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi menulis/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Apa yang paling mudah ditulis? Jawabnya sudah pasti: pengalaman pribadi, sesuatu yang pernah dilakukan, dialami, dan itu sangat berkesan. Berbeda dengan pengetahuan yang sering kali terlupakan, pengalaman seperti terpatri di dalam ingatan seseorang. Semakin berkesan sebuah pengalaman, maka semakin kuat ia melekat dalam ingatan. Memang terkadang iam engalami degradsai, atau bahkan penambahan dalam beberapa aspek detail, namun substansi sebuah pengalaman tetap tidak akan pernah hilang.
Sayangnya, seringkali pengalaman personal ini diposisikan sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak bisa dipakai sebagai data dalam penelitian. Penelitian yang -selalu dianggap- sangat objektif, berusaha seminimal mungkin menggunakan intervensi pribadi sipeneliti dalam laporannya. Peneliti -dianggap- harus independen, harus tidak memihak, dan harus menyajikan data apa adanya seperti yang ia temukan di lapangan. Ia harus memihak pada data, pada temuan-temuan faktual yang ada tenpam emanipulasinya. Hanya dengan cara seperti itu sebuah masalah dapat dilihat lebih terang dan intervensi atas masalah tersebut bisa dilakukan dengan objektiuf pula.
Anggapan demikian ada benarnya, namun dalam beberapa model penelitian sebenarnya tidak tepat. Seorang peneliti sosial adalah seorang yang mencoba mendalami pengalaman, cara pandang, proses perjalanan hidup seseorang untuk diangkat menjadi sebuah bahan analisis akademik. Pengalaman orang tersebut akan dijadikan bahan untuk dilihat berbagai aspek yang melatarbelakanginya, aspek yang mempengaruhi, hubungan antara satu orang dengan orang lain, faktor pembentuk, dan lain sebagainya sesuai dengan tujuan, metoda, atau teori yang digunakan. Dengan dasar ini, kenapa seseorang tidak bisa menggunakan pengalamannya sendiri sebagai basis sebuah penelitian sosial? Bukankah ia sangat memahami pengalamnnya? Ia mengerti, dan bahkan sangat mengerti, apa yang pernah ia alami?
Autoetnografi
Dalam konteks inilah sebuah penelitian autoetnografi dapat digunakan. Autoetnografi adalah penelitian sosial yang sangat dekat dengan antropologi. Sebelumnya hanya dikenal etnografi, yakni sebuah penelitian yang mencoba mendeskripsikan sistem hidup yang berlangsung dalam seubuah masyarakat. Pada awalnya, etnografi digunakan oleh sarjana Barat untuk mendeskripsikan kebudayaan dan kehidupan bangsa di Timur. Beberapa karya besar dalam antropologi sesungguhnya dilakukan melalui sebuah proses etnografi. Mereka tinggal dan hidup dengan sebuah suku bangsa, dan melihat semua proses yang berlangsung dalam suku bangsa tersebut. INilah yang kemudian dijadikan bahan dalam membuat teori sosial mereka.
Dalam autoetnografi, maka "suku bangsa" yang dilihat itu adalah diri sendiri. Ada banyak pengalaman yang dilalui oleh seseorang selama ia hidup. Ia pernah melalui masa kecil, masa bermain, masa sekolah. Ia pernah mengalami bagaimana berinteraksi dengan orang lain pertama kali, bagaimana menjalani hidup saat sekolah, saat remaja, dan bahkan beberapa waktu sebelum ia menulis. Ia pernah memutuskan sesuatu baik untuk dirinya atau untuk orang lain, ia pernah mendapatkan tanggung jawab dan menajalninya. Singkatnya, seorang orang yang masih hidup pernah melalui sebuah proses hidup yang banyak diantara pengalaman itu masih diingat dan direkam dalam pikirannya. Inilah yang dijadikan bahan dalam sebuah penelitian Autoetnografi.
Bagaimana Menulis Autoetnografi?
Langkah Pertama, dan paling penting, seorang peneliti harus mencatat pengalamannya sendiri dalam berhadapan dengan orang lain, keterpengaruhannya pada sesuatu, alasannya memilih atau tidak memilih sesuatu, dan hal lain yang memiliki relevansi dengan penelitian. Catatan ini harus sedetail mungkin, persis seperti sebuah narasi cerita. Aspek-aspek di luar yang dialami juga dicatat unutk menunjukkan cerita itu hidup dan dialami secara alami. Sebenarnya semua cerita bisa dipakai untuk sebuah penelitian etnografi. Namun dalam artikel pendek, misalnya makalah untuk jurnal, maka pengalaman yang diangkat hanya yang relevan dengan apa yang hendak dibahas saja, dan disesuaikan dengan pendekatan keilmuan yang dipakai dalam menulis.
Kedua, Pengalaman yang ada dikalsifikasikan dalam tema tertentu yang hendak ditulis dalam artikel. Semua pengalaman akan membantuk sebuah tema dan tema ini akan menjadi "sub judul" dalam sebuah artikel. Letakkan pengalaman itu di bawah sub judul yang hendak ditulis. Sebuah sub judul bisa saja memiliki satu pengalaman saja, atau bisa beberapa pengalaman kalau ia memiliki relevansi dan unsur tambahan yang penting untuk menjelaskan sebuah sub judul.
Ketiga, menjelaskan pengalaman dalam konteks sosial di mana pengalaman itu dilakukan atau terjadi. Misalnya, pengalaman "dipukul oleh orang tua", dibahas dalam konteks bagaimana masyarakat sekitar melakukan atau tidak melakukan hal yang sama. Atau bagaimana sebuah kekerasan pada anak dalam bentuk yang lain terjadi di lingkungan itu. Jika terkait dengan pengalaman "desa yang hijau" bisa dijelaskan konteks bagaimana "hijau" itu terjadi, dimanfaatkan, dan dipersepsikan oleh masyarakat sekitar. Intinya, pengalaman personal harus dijelaskan dalam konteks yang lebih luas di sekitarnya, bukan berdiri di arena kosong dan hampa.