Lihat ke Halaman Asli

Mau Dibawa Kemana Indonesia Lawyers Club?

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_147019" align="aligncenter" width="628" caption="Tayangan Indonesia Lawyers Club yang di pandu Karni Ilyas"][/caption]

TADI MALAM, Indonesia Lawyers Club (ILC) merupakan sesi paling buruk. Bagaimana tidak, pengacara Hotman Paris Hutapea vs Ruhut Sitompul—terlibat pertengkaran via telepon. Saling buka aib dan rahasia pribadi, adalah salah satu sikap yang menodai kesucian acara itu. Seharusnya, host acara, Karni Ilyas bisa memilah mana komentar yang berhubungan dengan konteks pembicaraan dan luar konteks.

Sebab, apalah arti forum tersebut, bila masih dibumbui tayangan caci maki. Sebaik-baiknya output dari para narasumber yang hadir dalam ILC, adalah kesejukan pembicaraan yang solutif, bukan gaya berapi-api dan menebar benci.

Makanya, saya patut bertanya: “Mau dimana Indonesia Lawyer Club?” Cukup rasanya sebuah pariwara, forum diskusi itu sebagai forum mencerdaskan yang berhasil menaruh simpati publik, dan konon katanya dijadikan referensi. Dalam hal dinamika diskusi saya katakana iya. Namun, dalam hal substansi, justru ICL telah mengubur hidup-hidup tata etika dan cara berdiskusi yang visioner.

Saya masih memaklumi, bila forum itu dihadiri oleh mahasiswa atau organisasi kepemudaan. Gaya berapi-api dan saling membunuh karakter bisa saja terjadi secara spontanitas.Persoalan mendasar forum itu di hadiri oleh para tokoh nasional yang sejatinya memberikan contoh yang patut dan berwibawa.

Sejauh pengamatan saya, ILC yang sebelumnya bertajuk Jakarta Lawyer Club (JLC) terkesan sebagai proyek coba-coba agar isu yang mengemuka lebih berbisa. Awalnya, acara itu amat sangat baik. Tapi entah mengapa lama kelamaan, seiring dengan banyaknya bumbu kebencian dan sikap hewaniah para narasumber, wibawa ICL menurun. Yang di tunggu publik, jangan-jangan kalau saja di ICL ada debat hebat atau ada tontonan pertengkaran virtual. Bukan apa sich, manfaat bagi masyarakat. Setidaknya solusi terbuka bagi permasalahan bangsa ini.

Bila ILC ingin menjadi referensi yang benar-benar membumi, Pak Karni Ilyas tengoklah suri tauladan dari Kong Fuzi, pemikir konfusius bangsa Cina. Dia adalah ahli filsafat yang mengajarkan tentang prinsip kehidupan berdasarkan moral kebajikan. Ajaran ini mendasari lahirnya filsafat konfusius yang menjadi landasan masyarakat China dalam ber-adat istiadat dan tatakerama dan gaya hidup untuk berkarya tanpa pamrih dan rela berkorban untuk orang lain. Dengan spirit ajaran konfusius, masyarakat China mencapai puncak kejayaan.

Lalu, tengok juga bagaimana kunci sukses peradaban Jepang. Salah satu budaya yang membumi adalah budaya malu. Bagi bangsa Jepang, malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Seperti Harakiri menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Dalam konteks kekinian, telah berubah ke fenomena "mengundurkan diri" bagi para yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya.

Saya kira, tak salah bila di acara ILC, baik host maupun narasumber mengajarkan tata karma dan budaya malu saat berdiskusi dan mengkaji masalah kebangsaan. Tidak semua penonton suka dengan sadisme. Janganlah baik sengaja atau tidak mempertontonkan kebencian dan angkara dengan sesame narasumber. Dan ini, sebetulnya menjadi tanggung jawab host untuk mengatur proses dan dinamika diskusi sehingga menarik simpatik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline