Lihat ke Halaman Asli

Sea Games Dekonstruksi ‘Budaya Lokak’ Sumsel

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_140907" align="aligncenter" width="568" caption="logo Sea Games ke-26 di Jakarta dan Palembang"][/caption] Hampir setahun, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dibantu Pemerintah Pusat mempersiapkan infrastruktur Sea Games ke-26. Sontak, pesimisme menyeruak ke permukaan. Terkhusus kepada Sumsel sebagai tuan rumah. Berbagai kalangan, kala itu, meragukan kesiapan Sumsel.

Bahkan, sampai satu bulan menjelang hari pelaksanaan, sebagian masyarakat masih tidak percaya, kalau kawasan rawa atau diistilahkan masyarakat ‘tempat jin buang anak’ menjadi kawasan olahraga yang diklaim seluruhnya bertaraf internasional dengan nama Jakabaring Sport City (JSC).

Kini, pesimisme itu berangsur menjadi sebuah kenyataan. Jakabaring, yang sejak sepuluh tahun terakhir, hampir tak tersentuh pembangunan infrastruktur, khususnya sarana dan prasarana olahraga, akan menjadi tempat opening dan closing Sea Games ke 26. Orang Sumsel, khususnya Palembang, tentu bangga.

Saya, ingin menggunakan pisau analisis psikososial terkait keberhasilan Pemprov Sumsel dibawah kepemimpinan Alex Noerdin, menjadikan Palembang sebagai tuan rumah. Keberhasilan Alex, menurut hemat saya, ya atau tidak telah menggugurkan adanya stigma ‘budaya lokak’ yang sudah lumrah bagi warga Sumsel.

Budaya lokak, bila disederhanakan artinya, ingin mendapatkan sesuatu dengan jalan yang cepat, murah, tanpa melalui proses yang matang dan terukur. “Ado lokak ndak?” kata-kata itu, sudah menjadi kebiasaan yang memiliki efek sosial negatif. Bahkan, stigma itu juga yang dulu menjadikan beberapa kawasan di Palembang menjadi daerah yang rawan kekerasan dan perampokan.

Pesimisme setahun lalu yang ada dibenak warga Sumsel muncul, karena menganggap mustahil Sea Games di Palembang bisa terwujud. Sementara, proses yang dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia. Namun, selama kurang lebih hampir setahun, Alex Noerdin, secara tidak langsung telah berkampanye untuk mengubah stigma buruk itu dengan bukti nyata. Kalaupun masih ada kelemahan dan kekurangan sarana yang belum selesai sampai menjelang pelaksanaan, itu something behind, yang sepenuhnya tak bias disalahkan kepada Pemprov Sumsel.

Sea Games ke-26 di Palembang, memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat Sumsel. Karakter masayarakat yang konon katanya keras dan kasar, harus berubah menjadi santun dan beradab. Sebagai tuan rumah, pertaruhan harga diri Sumsel, bukan hanya suksesnya pelaksanaan Sea Games. Namun juga, bisa melunturkan stigma 'budaya lokak', yang tergantikan dengan budaya cerdas dan budaya kerja keras.

Sea Games, bila boleh dikatakan, sudah menjadi laboratorium rekayasa sosial (social engineering) warga Sumsel yang sangat ampuh. Perubahan kultur masyarakat memang, tak akan langsung baik. Namun, setidaknya dengan terjadinya asimilasi budaya lokal versus budaya global, menggiring masyarakat bisa berpikir lebih positif, bekerja keras, dan bisa seiring sejalan dengan trend budaya modern tanpa menghilangkan kearifan lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline