Lihat ke Halaman Asli

Dialog dengan Tuhan (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13102780641725963851

TUHAN itu satu. Maha Esa. DIA maha tunggal. Nama-namanya berjejer dengan sembilan puluh sembilan keagungan. Aku dididik orang tuaku mengenal asma’ulhusna. Itulah nama-nama Tuhan yang setiap saat kubaca.

Kini, Tuhan sudah banyak warna. Tuhan banyak ditafsirkan dalam media yang berbeda. Aku miris mendengarnya. Manusia lupa satu hal. Ia bisa memaknakan Tuhan dalam media lain. Sementara, ia hidup oleh Tuhan yang sesungguhnya.

Masa kecilku mengingatkan kebersamaan dengan gadis-gadis desa. Dulu tabu mempermainkan Tuhan. Terdengar saja bersenda gurau tentang Tuhan, langsung ditegur guru ngaji. Dulu, tak malu, menjinjing kita suci. Sang guru, dengan telaten mengajari kami, cara mencintai Tuhan, dan bagaimana cara merangsang Tuhan agar mencintai kami.

Masa-masa itu, aku anggap masa mengenal Tuhan dengan murni. Kesejatian hidup dirasakan penuh warna dengan besutan-besutan hati yang lebih bertauhid. Setiap malam, habis magrib,dari rumah saling sahut membaca kitab suci.

Dulu, malu bertemu guru. Karena bagiku, guru adalah sosok yang layak ditiru. Sekarang guru adalah teman. Guru adalah sahabat. Guru adalah potret media yang sering baku hantam, guru yang menyuruh menyontek masal, memerkosa anak didik, dan terlibat dalam model ajar yang salah.

Kini, aku tidak lagi menemukan itu. Model mengenal Tuhan sangat instan. Lihat saja anak kecil sudah menjadikan kartun sebagai Tuhannya. Ia ingin bergaya seperti Superman; sebuah kemahaan kartun di dunia fana. Ia tidak ingin kalah. Selalu ingin menang. Pantang hukumnya mundur dari medan pertarungan, karena aku adalah superman—manusia yang sangat super.

Orang tuanya malah tertawa. Justru merasa hebat memiliki anak seperti Superman. Ia lupa, kalau anaknya ingin menjadikan anaknya sebagai superman sejati, dasarnya adalah cara mengenal Tuhan. Dididik untuk belajar tahu: “Siapa ibu nak? Siapa ayah nak? Belajar memberikan ajaran, bahwa dibawah telapak kaki ibumu nak, itu adalah surgamu.”

Akhirnya apa yang terjadi? Beranjak dewasa, sang anak memiliki Tuhan baru. Budaya pop sudah menjadi kiblat hidup yang instant, glamour dan melupakan nilai-nilai cara mengenal Tuhan. Gaya hidup yang lebih nge-rock. Cara pandang Tuhan yang disuarakan lebih metal. Sang anak pun, menjelang dewasa itu, tewas tertikam dunianya sendiri.

Setelah dewasa, kembali ia mengenal Tuhan baru. Tuhan itu fashionable. Tuhan itu adalah trend. Tuhan itu adalah masa muda yang kaya asesoris kehidupan yang dibeli dengan harga loakan. “Kemana Tuhanmu nak? Dulu ibumu sakit mengeluarkanmu dari perut ini. Sekarang, kamu menyakiti ibumu lagi. Berhentilah nak cara mengenal Tuhan yang semu itu. Berilah ibu seteguk minuman yang bisa membuat ibu tak haus untuk selamanya,” kata seorang ibu sambil menangisi anaknya.

♦♦♦

HEBATNYA Tuhan. DIA tidak marah dengan perilaku manusia itu. Bahkan, DIA menawarkan ruang-ruang kesadaran yang bisa digunakan oleh manusia. Sebegitu sabarnya Tuhan dengan manusia yang tak ‘bertuhan’

Tidak lama aku memusingkan fenomena itu. Aku hanya tersenyum. Model kehidupan sudah banyak bungkus. Lalu, kapan mansusia akan mengenal ketunggalan Tuhan dan Kemahaan yang sebenarnya. Aku teringat Gus Dur, dengan sebutan islam kaset. Manusia beriman dan mengenal ilmu pengetahuan agama dengan mendengarkan ceramah-ceramah dari kaset.

Islam itu universal. Islam itu, memiliki nilai-nilai keluhuran. Tapi aku melihat islam bagaikan buih dilautan. Manusia kini, tak mengenal Tuhan sebagai aktor sesungguhnya yang menjadikan manusia hidup. Ia pun lupa. Ia fana dalam pemikiran-pemikiran cara beragama yang senyawa dengan bayi baru lahir kemarin sore. (bersambung….). Wallohu'alam

sumber gambar: http://abusulaim11.blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline