Di antara kalian pasti sudah ada yang tahu, kalau orang Lamongan pantang makan lele. Sudah banyak tulisan di berbagai media yang membahas ini.
Dalam kepercayaan orang Lamongan, konsekwensi buruk akan menimpa siapapun, yang melanggar pantangan makan lele, salah satunya kulit akan belang.
Sebagaian orang Lamongan masih percaya dan patuh dengan pantangan tersebut. Tetapi sebagaian yang lain, tidak lagi mempercayainya. Gurih ikan lele goreng tetap lebih menarik.
Kepercayaan atas pantangan makan ikan lele, lebih kental pada orang Lamongan yang tinggal di sisi timur Lamongan. Sementara, orang Lamongan yang tinggal di sisi barat, cenderung abai dengan pantangan tersebut.
Beragam kisah beredar, tentang latar belakang pantangan tersebut. Salah satunya, kisah Boyopati yang mencari keris Sunan Giri. Dalam pencariannya, Boyopati harus bersembunyi di kolam lele, untuk menghindari kejaran musuh. Boyopati selamat, karena ikan lele tetap tenang selama di bersembunyi. Dari situ, Boyopati bersumpah, anak turunnya pantang makan ikan lele.
Ternyata, ada beberapa mitos dan pantangan lain bagi orang Lamongan, selain pantangan makan ikan lele. Lalu, apa saja mitos dan pantangan tersebut?.
Pantangan yang cukup luas dipercaya adalah, larangan melintas bagi calon pengantin dan pengantin baru di gunung Pegat. Gunung Pegat, merupakan gunung kapur yang terletak di selatan Babat, tepatnya di desa Karang Kembang Kecamatan Babat. Kata pegat dalam bahasa Jawa berarti cerai, hal inilah yang melatarbelakangi pantangan tersebut.
Dinamakan gunung pegat, karena gunung ini di belah, dipisahkan, untuk dijadikan jalan lintas kabupaten, yang menghubungkan Jombang dan Babat. Posisi yang terpisah di barat dan timur jalan memunculkan nama Pegat.
Dipercaya, pengantin atau calon pengantin yang melewati gunung ini, akan berakhir dengan perceraian. Akan tetapi, efek buruk ini dapat dinetralisir, dengan melepas seekor ayam. Ya, saat melintas gunung pegat calon pengantin atau pengantin baru harus melepas ayam, ayam hidup ya bukan ayam panggang.
Ayam yang dilepaskan menjadi rejeki nomplok warga sekitar, diperebutkan untuk delihara, atau lebih sering berakhir sebagai ayam goreng.