[caption caption="copyright by bb'p"][/caption]
#1
Segenggam uang secarik tisu ia berikan sore itu. Di atas, di langit, awan terjatuh iba lalu menangis, "Ibu, hujan telah tiba," lirih teriaknya. Segenggam senyum mengembang seketika, bersama dengan dua jalinan lengan yang memadu satu, "Inilah kekayaan dalam kemiskinan, Nak," lembut serunya di mungil telinga si buah hati.
#2
Sebongkah lelah menyatu dengan sebuah piring kosong, saat tiba-tiba sang anjing melolong, "Ibu, Lolong lapar," teriaknya sambil menggamit lengan sang bunda. "Di mana si lapar?" jawab bunda lalu lanjutnya, "Bila ia-sang lapar- merenggut bahagiamu, ambillah sebuah nampan lalu acungkan pada si tuan yang selalu berjalan dengan kepala tengadah dan dada dibusungkan, niscaya ia akan melihatmu sebagai buah-buah pijakan ketenaran, lalu kau pasti 'kan dapatkan makanan".
#4
"Di bawah kolong di atas lembaran kertas koran Nak," gumamnya sambil tak henti membelai rambut panjang si buah hati. "Kita akan tebarkan benih-benih kebahagiaan bagi semua orang. S'bab bukan si gila uang yang punya banyak bangunan, namun kasih dan sayang yang empunya kekayaan."
#5
Senyum manis gadis kecil mendesak manja pada sang bunda. Sebaris kata tak bernoda ia lantunkan dengan bangga, "Ibu, aku lapar." Sang bunda sang raja mimpi dunia pun menjawabnya, "Di bawah kolong di atas lembaran kertas koran Nak," gumamnya sambil tak henti membelai rambut panjang si buah hati. "Kita akan tebarkan benih-benih rasa kenyang bagi semua orang. S'bab bukan si gila uang yang punya banyak bangunan, namun kasih dan sayang yang empunya rasa kenyang."
#6
Lalu pandangannya beralih ke atas awan dan berdoa, "Tuhan, kalimat sakti apa lagi yang harus hamba beri untuk mengenyangkan hari-harinya yang penuh kebohongan dan perut kosong tak terisi?"
+
Jogja, Desember 2015
sede
#fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H