Bahagia itu bukan hanya urusan harta, uang, fasilitas, kehormatan dan cinta kasih. Tapi kebahagiaan adalah urusan rasa, rasa damai, rasa nyaman, rasa ketenangan yang mendalam. Seringkali dihadapan kita banyak sekali makanan enak, kantong penuh dengan rupiah tapi hati kita terasa gundah, merasa ada yang kurang, muncul ketidak nyamanan. "Apakah kau pernah merasakan demikian wahai saudaraku?"
Tapi anehnya diri ini terus mengejar materi, rasa iri muncul ketika saudara kita mendapat nikmat lebih. Kita masih berlomba-lomba mengejar kenikmatan sesa'at tanpa dasar ilmu. Apakah rasa ini hanya menimpaku?
Kematian semakin hari semakin dekat, tapi kita lalai, apa bekal kita nanti untuk menghadapi alam yang tanpa batas?
Aku merindumu wahai kekasih, aku tau Engkau lebih merinduku dari rinduku pada-Mu, Tuntunlah aku wahai sang Maha Cinta. Jadikanlah aku manusia-manusia yang terus bahagia dalam pandangan-Mu dan jadikan keteguhan dan kenyamanan dalam menapaki jalan jalan cinta-Mu.
Wahai kekasih, munafikkah aku?
Aku memintamu jalan lurus, dan terus menerus meminta, Engkau pun tunjukan jalan-jalan itu, tapi....
Tapi anehnya dalihku, egoku, nafsukulah yang masih tetap aku menangkan dalam tapakan langkah-langkah ini, egoku Kekasih...
Cintamu, kasihmu, tapi aku tetap merindumu wahai Kekasih
Aneh kah aku.....
Kesedihan muncul ketika makian, hujatan dan olokan ditimpakan pada diri yang berlumur kemunafikan-kemunafikan itu. Bukankah itu kepantasan? Kepantasan bagi jiwa-jiwa yang berlumuran salah dan keliru. Apakah ini bukti yang terang "akulah manusia yang harus terus berbenah agar rela menerima olokan dan hujatan sebagai kepantasan"
Aku yang masih dalam penjara ego, dalih pribadi dan kesombongan.
Bebaskanlah aku wahai Kekasih. Bebaskan dari jeruji-jeruji yang terus mengelilingi jiwa yang lemah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H