Lihat ke Halaman Asli

Ini Baru yang Namanya #KitaIndonesia

Diperbarui: 6 Desember 2016   05:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar: kitaindonesia.com

Semangat kebangsaan dan keIndonesiaan kadangkala hanya sebatas retorika belaka. Kata “KITA” seakan menjadi senjata ampuh banyak tokoh kenamaan di negeri ini ketika mendengungkan spirit persatuan dan kesatuan. Nyatanya, pekik “nasionalisme” itu seringkali mandeg di atas mimbar saja, dan tak pernah ada realisasinya.

Masyarakat pun seolah terhipnotis ketika kata “KITA” itu diteriakkan. Mereka seakan percaya dan kesemsem, bahwa kata itulah “nasionalisme” yang sesungguhnya. Walaupun yang meneriakkan kata itu tak pernah ada buktinya, masyarakat akan tetap percaya.

Sejatinya, spirit kebangsaan dan keIndonesiaan bukan hanya diteriakkan di mimbar saja, tapi jelas dan konkret buktinya. Upaya untuk merajut persatuan dan kesatauan bangsa, akan tetap dilakukan dengan misi yang sama, walaupun dari berbagai macam golongan.

Saya sangat kagum dengan tokoh yang tanpa basa-basi dan umbar janji, tapi realisasinya nyata dan dirasakan rakyat. Di antara kekaguman saya adalah gagasan berdirinya Yayasan Peduli Pesantren (YPP). Yayasan ini dibangun dengan misi untuk membangun dan mengembangkan pesantren-pesantren di berbagai pelosok tanah air. YPP dibangun dan digerakkan oleh para tokoh-tokoh besar di negeri ini.

Tak bisa dipungkiri, Pondok Pesantren memang selalu dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan sebagian kalangan masyarakat. Padahal, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia.

Sekalipun selalu dipandang sebelah mata, kiprah Pondok Pesantren sudah terbukti di tengah-tengah masyarakat. Sudah tak terhitung santri yang berprestasi di kancah nasional maupun internasional. Baru-baru ini saja, salah satu santri Tebuireng, Jombang, berhasil memperoleh medali emas di ajang olimpiade Matematika di Singapura. Oleh karena itulah, sudah sepantasnya Pondok Pesantren diperhatikan dan dipedulikan. Bukan dianaktirikan.

Kekaguman saya pada tokoh-tokoh besar yang masih peduli memikirkan nasib pesantren adalah kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD, SH, SU, Rektor Universitas Paramadina Prof. Firmanzah, SE, MM, Ph.D, Ketua Umum PBNU Prof. Dr. Said Aqil Siradj, MA, Ketua PP Muhammadiyah Drs. H. Hajriyanto Y. Thohari, MA, Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang KH. Shalahuddin Wahid, dan Habib Achmad Djindan.

Bayangkan saja, tanpa basa-basi dan umbar janji, tokoh sekaliber mereka masih mau dan peduli memikirkan nasib pesantren atas ajakan Hary Tanoesoedibjo. Sekalipun berbeda profesi dan organisasi, mereka tetap bersatu paut menyongsong satu misi yaitu untuk membangun dan mengembangkan pesantren-pesantren di berbagai pelosok, yang kini kondisinya semakin memprihatinkan.

Bagi saya, inilah bukti nyata “nasionalisme” yang sesungguhnya. Datang dari berbagai macam golongan, agama, suku, etnis dan ras, tapi tetap bersatu, hanya untuk bersama-sama memikirkan nasib sebuah lembaga pendidikan yang bernama Pondok Pesantren. Ini baru yang namanya #KitaIndonesia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline