Ibu saya suka sekali es krim. Tidak mengenal waktu, ia selalu meminta dibelikan pada kami. Entah pada anak-anaknya atau cucunya. Ia pasti meminta dibelikan es krim telebih bila di mini market yang letaknya berada tepat di depan rumah kami.
Pagi, siang bahkan malam hari Ibu saya selalu meminta dibelikan. Jika sudah didapat ia baru berhenti memintanya. Sejak kapan ia menyukai es selembut salju itu saya sendiri tidak tahu. Pun dengan adik-adik saya tidak ada yang pernah mencari akar musababnya.
Maklum saya di dalam keluarga, anak paling tertua dari empat saudara kandung. Semua adik-adik saya perempuan. Hanya saya saja yang laki-laki dalam keluarga.
Ibu saya usianya sudah kepala tujuh. Ia belum pikun. Matanya masih awas. Masih bisa melihat dengan tajam. Menjahit saja masih bisa.
Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan Ibu menyukai es krim. Atau, memasalahkan uang yang dibelikannya itu. Tapi saya khawatir dengan kesehatannya. Apalagi ia sudah usia senja, tentu diabetes militus sangat suka menghampiri usia-usia orangtua semacam dirinya. Tapi saya bisa apa?
"Kamu mau jadi anak durhaka, Lus!" Begitu Ibu "mengultimatum" saya jika tidak membelikan dirinya es krim. Dan aku...akhirnya seperti kerbau dicocok hidungnya.
Saya pun menurutinya. Selalu memberikan Ibu es krim diam-diam.
Akhirnya apa yang kami khawatirkan pun terjadi. Ibu jatuh sakit. Karena kami takut Ibu kenapa-napa, Anggun menelpon dokter pribadi rumah. Usai itu ia baru menelpon adik-adikku agar segera melihat keadaan Ibu. Ternyata Anggun sangat lebih khawatir tentang Ibu.
"Maaf seperti Ibu Ida hanya sakit batuk biasa dan demam. Tapi saya sarankan Ibu kalian untuk sementara waktu jangan memakan yang dingin-dingin jika ingin cepat sembuh," ucap dokter Gustav, dokter pribadi kami memberitahukan kondisi Ibu kami.
"Terima kasih, dok! Kami akan menuruti saran dokter," ucap saya padanya.
"Baiklah, saya balik dulu. Karena masih ada yang menunggu saya," lanjut dokter Gustav, meminta pamit pada saya.