Didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami zaman yang berbeda dengan zaman kamu. (Hadis)
Setiap anak memiliki polah dan karakter yang berbeda-beda. Entah, cara mereka untuk memutuskan maupun ingin meraih sesuatu dengan caranya yang berbeda pula masing-masing. Hampir setiap kehidupan maupun persoalan anak-anak selalu dipenuhi warna-warni. Karena kehidupan mereka bukanlah seperti orang dewasa atau remaja lainnya.
Mereka sangatlah berbeda! Di kehidupan mereka seharusnya hanya belajar dan bermain. Tidak perlu dicampuri dan dikontaminasi oleh apa pun. Halnya saat anak-anak memutuskan sesuatu dan ingin meraih apa yang diinginkan dan dicapainya. Biarlah dengan caranya dan polah pikir mereka sendiri yang sedang berkembang itu. Sebagai orang dewasa (baca : guru) hanya bisa membimbingnya dengan baik dan benar bukan menggurui apalagi menceramahi.
Halnya dalam mengarahkan anak-anak untuk menumbuhkan minat baca khususnya di lingkungan sekolah. Tentu bukanlah perkara mudah. Apalagi jika belum mengetahui celahnya. Itu yang sangat tidak mudah untuk direalisasikan. Apalagi bila di sekolah itu tidak ada perpustakaan sama sekali dan persediaan buku baca minim sekali. Klop sekali! Makin menumbuhkan minat baca tersingkirkan. Miris.
Ini pun tentu saja menggerakkan hati saya. Terlebih saya ini adalah pengajar dan seorang guru Jurnalistik tingkat sekolah dan seorang mahasiswa yang masih melanjutkan bangku kuliah kembali dengan mengambil jurusan pendidikan serta penulis fiksi anak dan remaja. Itu merupakan sudah menjadi bagian ‘tugas’ saya! Bagaimana saya nanti mencari inovasi dan solusi yang tepat agar anak-anak di lingkungan sekolah memiliki minat baca tumbuh pada diri mereka masing-masing tanpa diperintahkan. Ayo, Nak, baca buku! Itu tidak akan terjadi.
Ya, lagi-lagi ini sudah menjadi tugas saya. Ibarat kata hal itu sudah menjadi ‘makanan’ saya sehari-hari. Selalu berkutat di dalamnya. Bahkan setiap kali saya beraktifitas. Sudah pasti saya pun harus peka dan care agar anak-anak khususnya di lingkungan sekolah agar memiliki dorongan rasa tumbuh mencintai buku dengan cara membaca. Karena melihat keadaan zaman sekarang anak-anak sudah mulai ‘dikuasai’ oleh yang namanya game online, baik di rental-rental game online maupun di aplikasi gadget yang makin merajalela.
Bisa jadi jika mereka tidak diwaspadai akan menjadi habit. Tentu hal ini menjadi boomerang untuk para guru khususnya dan wali murid (orangtua) pada umumnya.
Di sinilah peran penting saya agar anak-anak yang saya ajarkan lebih dulu mencintai minat membaca baru kemudian menulis. Tapi saya tidak terlalu muluk-muluk. Mereka memiliki minat baca buku saja sudah suatu ‘keberkahan’ buat saya disaat gempuran game online makin marak menyerang dunia anak-anak saat ini. Tidak mungkin secepat itu saya harus mengajari menulis pula. Tapi harus perlahan-lahan memberikan arahan dan kebiasaan agar mereka bisa memiliki minat baca dulu, baru nanti saya ajarkan menulis.
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah sistem di Jepang yang mewajibkan kepada siswa-siswanya di tingkat Sekolah Dasar (SD) untuk membaca buku selama 10 menit sebelum dimulainya pembelajaran. Atau, istilahnya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung.
Dan kebijakan itu pun sudah berlangsung hampir 30 tahun lamanya. Hingga menjadikan sebuah kebiasaan yang harus diterapkan agar membentuk sebuah sifat behavioristik, di mana terdapat reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam pelaksanaan aturan tersebut. Ternyata kebiasaan ini dilakukan di tingkat Sekolah Dasar memiliki nilai cukup efesien dan efektif. Sebab, dilakukan pada anak-anak sejak di usia dini.
Bukan hanya itu saja, pola pendidikan di Jepang itu jugalah yang mendorong siswa-siswanya agar aktif terus membaca. Salah satu cara yang dilakukan di sana adalah dengan mempresentasikan karya sastra klasik, membuat kelompok story telling berdasarkan buku yang telah dibacanya untuk kegiatan charity tiap akhir tahun pelajaran nanti. Maka sangat masuk logika jika generasi penerus Jepang memiliki kualitas intelektual yang terbaik.