Lihat ke Halaman Asli

Kecemasan dalam Ikhlas dan Tawakkal

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ikhlas dan tawakkal, merupakan dua kata yang sering kita dengar sehari-hari dalam kalangan umat islam. Segala macam amal ibadah atau perbuatan kita sehari-hari diharuskan untuk dilaksanakan dengan ikhlas dan penuh tawakkal. Ikhlas merupakan konsep sekaligus bentuk dari ketulusan hati kita didalam melakukan suatu perbuatan. Dengan ikhlas tersebut dapat menjadikan hati seseorang merasa senang dan bisa menikmati perbuatannya. Perbuatan yang diiringi dengan ikhlas akan membuahkan hasil yang memuaskan pula. Karena si pelaku ikhlas tersebut akan melakukan suatu perbuatan dengan sungguh-sungguh, menikmati dan sepenuhnya tulus. Oleh karena itu hasil yang mereka capai pun bisa dengan maksimal hasilnya. Akan tetapi yang namanya proses, terkadang kita mampu memprediksikan hasil yang nantinya kita capai, baik buruk atau jeleknya, memuaskan ataupun tidak.terkadang pula kita tidak bisa memprediksikannya karena beberapa faktor atau alasan lainnya. Dan dengan tawakkal inilah kita bisa lebih instropeksi diri didalam menerima hasil yang telah kita capai. Tawakkal merupakan bentuk rasa kelegaan kita dalam menerima apa-apa yang telah kita usahakan diawal. Tawakkal juga merupakan bentuk kita untuk berpasrah diri kepada Allah SWT atas ikhtiyar (usaha) kita. tidak semua hasil akhir dari usaha kita bisa kita perkirakan, oleh karena itu dengan konsep tawakkal tersebut kita bisa lebih “legowo” lagi dalam menerimanya.

Semua orang mampu melakukan dan menerapkan dua konsep tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Akan tetapi kadar penerapan dari setiap orang berbeda-beda. Para Ulama’, Kaum Sufi, dan para Ahli Tasawuf lainnya, mereka mampu mencapai tingkatan ikhlas dan tawakkal yang tinggi, didalam cara mereka untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan menjauhi kenikmatan dunia. Jadi segala macam amal ibadah mereka murni ditujukan untuk Allah SWT. Untuk orang pada umumnya, untuk berbuat ikhlas dan tawakkal ini terkadang masih mengalami gangguan atau tidak bisa seratus persen menjalankannya seperti para Ahli Tasawuf. Hal ini bisa dikarenakan tingkat kecemasan setiap orang yang berbeda-beda. Kecemasan sendiri merupakan kekhawairan atau ketakutan terhadap suatu hal yang akan datang atau masih belum terjadi pada saat ini. Ketika seseorang ingin ber-shodaqoh atau menyumbangkan sebagian uangnya,terkadang ia masih berpikir-pikir lagi dan merasa cemas. “kalau aku nanti shodaqoh 10.000, aku gak makan siang lak an!”. Dari sinilah perasaan cemas itu muncul dengan beberapa alas an lainnya juga, termasuk contoh diatas. Hal ini memang wajar dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut, jika kita mengacu pada kuantitas dari uang, pada contoh tersebut. Sehingga rasa cemas dan khawatir itu muncul pada benak seseorang. Dalam agama islam kita diajarkan untuk lebih bisa ikhlas dan tulus lagi. Memang jika dilihat dari kuantitasnya akan dirasa rugi, akan tetapi dari segi kualitasnya terdapat beberapa aspek yang diuntungkan. Kita bisa melatih hati kita supaya bisa berbuat dengan tulus lagi dan bisa melakukan hal dengan sepenuhnya. Bekerja, menolong orang dan lain seagainya, sangat dibutuhkan perasaan ikhlas untuk memubuahkan hasil yang baik dan menambah silaturahmi (social support). Oleh karena itu kita harus bisa lebih menekan kembali perasaan cemas kita supaya tidak menodai perasaan ikhlas dan tulus kita.

Demikian pula didalam usaha kita untuk tawakkal, yang mana perasaan cemas disini lebih terasa karena sebelumnya kita menunggu hal-hal yang akan terjadi. Ketika menunggu hasil usaha kita, acap kali perasaan cemas itu muncul bahkan lebih sering dan tinggi, karena kita menanti hasil kita. Seorang siswa SMA yang telah menempuh masa belajarnya semala tiga tahun, lalu setelah ia selesai ujian akhirnya dan menunggu hasil ujian tersebut, rasa cemas akan muncul dengan kadar yang tinggi. Seorang petani yang telah menanam jagung, dan ketika tiba bulan-bulan untuk panen, rasa cemas mereka pun akan muncul. Hal ini berkenaan dengan baik buruk hasil yang telah mereka capai. Dan untuk mengatasi kecemasan ini, konsep tawakkal diatas sangatlah baik untuk membantu kita supaya bisa lebih menerima kembali segala macam bentuk hasil kita. Buruknya hasil yang telah kita capai bukanlah suatu hal yang harus kita nilai buruk selamanya. Akan tetapihal tersebut bisa menjadi bahan instropeksi diri bagi kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline