Lihat ke Halaman Asli

Kali ke Sembilan

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Anjing!! Serahin enggak!!??”

“Mati Aja lo!!”

“Bruk!"

"Duess!!

"Brak!!”

Kali ini aku bertemu lawan.
Dua kali jotosanku seperti tak dirasakannya. Bantinganku seperti membanting karet ban. Selalu mental, lalu bangun dan membalas setiap seranganku. Lelaki yang sedianya ku palak itu ternyata melawan sengit. Tak seperti yang kemarin, setiap  todonganku memberi hasil.

Benar-benar,
Untuk yang pertama kali aku ketemu batu.
Badik yang kutodongkan ke pinggang ditepisnya cepat, lalu aku di dorong setengah dibanting.

Untung aku sigap. Kakiku mencelat berputar setelah menindak tanah langsung sebat ku arahkan ke perutnya. Rupanya laki-laki itu siaga, dengan ringan digeser posisinya. Kakiku menerpa angin. “Sial!” Umpatku. Bahkan aku yang gantian di serang. Sikutnya menghujam ke muka. Kutangkis dengan dua telapak tangan yang kutangkupkan.

Aku benar-benar gemas.
Harus  segera kuakhiri perlawanannya.
Kuhentakkan kaki 3 kali ke tanah.
Lelaki itu tampak terhuyung. Kali ini kugunakan ilmu dari moyangku.
Tanah bakal seperti tergoncang laksana digebalau gempa saat kuhentak ilmu leluhur ini.
Benar saja, lelaki itu terhuyung kehilangan konsentrasi.
Tak boleh kulewatkan kesempatan yang tak lama ini.
Dengan gemas kuraih  badik di tanah, dan secepak kilat kuhunjam ke dadanya.

“Jless!”

Darah mengalir deras dari dadanya.
Matanya melotot, lalu rubuh! “Brukk”
Aku sendiri limbung, sempoyongan berapa tindak ke belakang.
Butuh beberapa menit agar seimbang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline