Jogja Every Core atau yang akrab di telinga masyarakat sebagai JEC merupakan komunitas yang menaungi penggiat dan penggemar musik dalam lingkaran skena underground yang berbasis di Kota Yogyakarta.
Komunitas JEC lahir pada bulan Juli tahun 2013 bersamaan dengan acara pertamanya di Taman Budaya Yogyakarta yang pada saat itu dipelopori oleh Sulitiyo, hingga artikel ini ditulis JEC telah melebarkan sayapnya hampir 9 tahun lamanya. Tidak heran jika pada skena musik underground Yogyakarta, komunitas JEC memiliki nama yang bukan hanya sekedar menjadi pandangan sebelah mata.
Nama Jogja Every Core dengan 28 anggotanya tidak begitu saja berdiri tegap di tengah arus perkembangan skena musik di Yogyakarta. Lika dan liku kerap kali dihadapi oleh JEC dalam usahanya memberikan nafas skena musik underground.
Bagas Putra Permana alias Bugis selaku ketua JEC berbagi cerita mengenai salah satu pengalaman JEC yang cukup berkesan, pada saat ia menyelenggarakan gigs pada tahun 2015 terdapat seorang warga yang memberikan lemparan ember cinta berisikan air kepada para panitia JEC karena dianggap menganggu lingkungan sekitar dan musik yang terlalu keras, namun syukurnya acara tetap berlangsung sampai musik berhenti meraungkan melodinya.
Secuplik cerita pengalaman Jogja Every Core di atas memberikan gambaran bahwa skena musik underground kerap kali masih sulit untuk diterima oleh semua kalangan masyarakat. Jika dikupas melalui metode Tree Diagram atau pohon masalah oleh Silverman (1994) maka dapat dilakukan analisis terhadap masalah, sebab dan akibat yang terdapat di dalam komunitas JEC.
Terdapat sebuah permasalah utama dalam komunitas JEC yaitu aliran musik underground masih susah diterima oleh masyarakat luas.
Telah kami analisis bahwa permasalah utama tersebut muncul oleh karena beberapa faktor yang disebabkan oleh musik underground mendapatkan stigma yang negatif dan cenderung dihindari, lantunan musik yang cukup keras dan beat yang cepat kerap kali tidak familiar di telinga masyarakat secara luas dan juga lingkungan skena musik underground belum mendapatkan cukup ruang dibandingkan dengan skena musik populer lainnya di Yogyakarta.
Hal tersebut berdampak kepada promosi band dalam lingkaran musik underground yang terdapat di JEC hanya mendapatkan target pada pendengar musik underground saja dan anggota JEC tidak dapat menjadikan satu-satunya sumber mata pencaharian melalui karyanya.
Alunan musik dalam nadi Jogja Every Core tidak berhenti begitu saja dengan adanya rintangan tersebut, justru JEC hadir untuk menyumbangkan nafas pada skena musik underground agar tetap berdetak dan mendengungkan musik maupun karya para anggotanya.