Lihat ke Halaman Asli

Jakarta Baru Spirit of Liar Jokowi?

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam rangka mengangkat potensi pariwisata, kota Solo memiliki slogan: Solo, The Spirit of Java. Slogan tersebut merupakan salah satu upaya kota Solo untuk mencitrakan kota Solo sebagai kota pusat kebudayaan Jawa.
Namun slogan The Spirit of Java tersebut rasanya tidak terlalu menonjol bahkan tenggelam sama sekali, jika slogan tersebut ditujukan sebagai mengangkat leading sektor pariwisata Kota Solo.

Faktanya pariwisata Solo tetap tidak mampu menandingi popularitas Jogjakarta sebagai tujuan wisata domestik dan mancanegara di sekitar DIY dan Jawa Tengah, mengingat jarak antara DIY dan Solo hanya +/- 1 jam perjalanan darat.

Apa sebab slogan The Spirit of Java tidak begitu bombastis dalam hal promosi keluar? Memang jika kita melintas di jantung Kota Solo slogan tersebut terpampang di jalan rayanya. Namun yang namanya sektor pariwisata harus menggaet wisatawan luar, dan bukan memperbanyak promosi kedalam.

Bila kita tanya seberapa besar wisatawan domestik paham kota mana yang disebut The Spirit of Java, pastinya tak ada yang tahu. Hal ini disebabkan slogan The Spirit of Java hanya dijadikan alat pencitraan bagi Walikota Solo Joko Widodo untuk menggaet simpati warganya semata. Sementara tujuan utamanya yakni mengangkat sektor wisata di Solo terabaikan. Kalaupun ada wisatawan yang berkunjung ke Solo, itu disebabkan karena memang image Solo yang sejak dulu kala dikenal sebagai kota batik, kota liwet serta tempat tujuan wisata eksotis lainnya, bukan karena orang mengenal Solo sebagai The Spirit of Java.

Kondisi ini terkait dengan janji-janji Jokowi yang kini mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta. Bagaimana mungkin Jokowi yang lemah dalam mempromosikan slogan The spirit of Java kini bisa berjanji akan membuat slogan baru untuk Jakarta sebagai tujuan wisata mancanegara. Tentunya sangat bertolak belakang dengan apa yang Jokowi canangkan di Solo yakni The Spirit of Java.

Oleh sebab itu, penulis merasa janji-janji Jokowi dalam pemilukada DKI Jakarta terlalu muluk-muluk. Andai saja masyarakat Jakarta mudah mendapat informasi tentang kondisi Solo, bisa dipastikan pencitraan yang dibangun Jokowi di Jakarta tak akan berhasil. Sayangnya masyarakat Jakarta sulit mengakses informasi riil daerah lain, sebaliknya masyarakat daerah lain begitu mudahnya mendapat informasi tentang Jakarta. Cukup membuka internet atau nonton TV maka jendela Jakarta terbuka untuk kita semua.

Intinya, Jokowi tak ada bedanya dengan pemimpin kepala daerah yang lain, hanya mengandalkan pencitraan di media dengan segala prestasi yang katanya telah diraihnya, termasuk menjadi Walikota terbaik sedunia. Padahal itu semua tidak benar. pemilihan walikota terbaik se dunia yang digelar oleh The City Mayors Foundation, tatacara pendaftarannya adalah terbuka dan inisiatif sendiri. Artinya siapapun bisa mendaftar, kemudian pemilihannya adalah berdasarkan vote dan testimoni dari seluruh warga dunia, tak ubahnya seperti lomba ajang pencari bakat atau idol-idolan. Siapa terbanyak mendapat vote dan testimoni positif maka dialah yang menang. Sementara pengumuman pemenang diumumkan pada Desember mendatang.

Iklan Jokowi dengan mencantumkan predikat sebagai salah satu walikota terbaik adalah penyesatan opini yang berdampak pada citra Jokowi melonjak pesat dalam pemilukada DKI, hingga menang diputaran pertama. Bayangkan bila masyarakat DKI Jakarta ternyata membeli kucing dalam karung. Sungguh tak terbayang apa yang terjadi bila Jakarta dipimpin orang seperti Jokowi, yang hanya menang citra di media.

Catatan Jangan Semakin Panik Baca Tulisan Ini. Komentar Tetap pada Esensi ...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline